Gerombolan Ngeroyok Status Quo
TRANSINDONESIA.CO – Status quo bagi kaum mapan dan nyaman merupan surga yang akan terus dipertahankan mati-matian. Pengeroyokan ini sudah tanpa malu dan tanpa ragu diakukan sebagai sebuah prestasi kerja dan sebagai sebuah kecerdasan dalm ketololan.
Anehnya, tidak ada yang berani menjadi pelopor membela yang baik dan benar atau yang akan memperbaiki. Semua saling menunggu, saling ragu dan nampak sekali solidaritas sosial memang masih nol dan naif, penuh dengan pamrih, cari untung sendiri, masa bodoh serta tidak lagi peduli dengan perbaikan maupun kebaikan.
Entah takut, entah sudah kebagian atau entah tidak mau urusan kita tidak tahu. Memang para pengeroyok ini mafia-mafia yang bersepakat untuk mengagungkan sesuatu yang jahat. Dari membenci sampai mematikan siap dilakukan.
Mereka bagai Naga yang sangat perkasa, karena punya kuasa, harta, tahta bahkan senjata-senjata soft and hard yang siap melumat siapa saja yang berani mengusiknya.
Solidaritas sosial untuk kebaikan dan kebenaran memang sulit didapatkan di era yang dikuasai mafia. Mereka menjadi masa bodoh, nrimo dan merasa kalah sebelum berjuang.
Mental-mental orang idealis dimatikan satu persatu, nilai-nilai patriotisme, kebangsaan dan kemanusiaan diganti dengan uang, jabatan dan kekuasaan. Siapa patuh kebagian, siapa melawan pasti disengat duluan.
Hukum rimba menjadi simbol keadilan. Korban, contoh dari kekejaman sudah dipertontonkan kepada publik sebagai bentuk kekejaman simbolik, sambil berteriak menantang, “ayo siapa mau melawan? pasti kami jatuhkan”.
Shock teraphy yang mereka lakukan memang manjur bagai obat dewa untuk membungkam dan menyumpal orang-orang yang tidak sepaham. Siapa patuh dan taat akan diberi berkat, siapa membangkang akan langsung ditendang.
Bagi orang baik dan benar diperlukan nyali sebagai pejuang yang tidak takut dimatikan karakter, karier dan fisiknya. Pejuang memang bukan keroyokan dan bukan bagian dari gerombolan kroni. Tidak juga menjdi budak mafia. Mereka sadar akan niat luhurnya dengan segala dampak dan resikonya. Gusti Mboten sare….. .[CDL-29042016]
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana