Kehormatan Terbeli, Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono

TRANSINDONESIA.CO – Kalimat “Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono” bisa dimaknai “boleh begitu tapi jangan begitu”. Pesan leluhur akan harga diri, nilai-nilai luhur, idealisme agar jangan dilupakan.

Pesan yang ingin disampaikan dalam kalimat tadi adalah ingat dan waspada. Di zaman yang serba instan, hedonisme menjadi ikon simbol keluhuran bahkan berbahagia diatas penderitaan orang susahpun dianggap suatu kemuliaan.

Pamer dan menunjukkan perkeliruan yang dinyatakan sebagai kebenaran. Orang lain memandang diam bukan karena takut atau yang berteriak karena iri.

Ilustrasi
Ilustrasi

Memang bagi orang-orang yang bangga akan perkeliruan mengatakan, kalau ada yang ngiri kita ke kanan, karena kalau kita ikut ngiri maka akan menjadi konvoi. Plesetan-plesatan itupun mencerminkan betapa naif dan keterlaluan sehingga seakan hopeless dan tidak mampu lagi membedakan mana kambing dengan anjing.

Bagi yang berada dalam lingkaran kenikmatan dan kejayaan akan selalu tebar pesona karena mendapat puja puji dari kaum kroninya walau air mata kesedihan dan kesengsaraan ada dimana-mana.

Nilai luhur, harga diri, kehormatan tidak lagi menjadi yang hakiki semua didekati dengan uang, materi dan tukar menukar kenikmatan. Keutamaan akan lenyap karena sulit untuk melakukan kebaikan dan hampir-hampir tidak ada tempat bagi yang baik dan benar.

Gerundelanlah jadinya. Saling menunggu saling menjatuhkan dan saling tikam dari dalam. “Ngono yo ngono ning ojo sakmono”.

Inipun menjadi suatu ikon baru bagi yang mentargetkan untuk mendapatkan sesuatu dengan memberikan tarif. Oligarki meraja lela. Lagi-lagi kaum lemah hanya mampu menahan diri sambil menggigit jari.

Pemandangan keserahkaan menjadi sesuatu yang dirasa penuh dengan ketidak adilan. Tipu menipu, kemunafikan, penyimpangan dan berbagai pelanggaran menjadi ayat-ayat kebenaran dan pujian.

Peringatan dari Sanepo, ungkapan, plesetan sampai gerundelan memang tanpa kekuatan fisik namun memiliki kutukan yang mampu menjungkir balikkan keadaan. From hero to zero…[CDL-27042016]

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share