Menimbang Hunian Berimbang [3]: Jangan Hambat Akses MBR

TRANSINDONESIA.CO – Sudah takdir “Pemerintah” menjalankan peran memenuhi kenbutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Itu amanat konstitusi dan pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2011 (UU PKP).  Apalagi saat ini masih  tingginya defisit pasokan rumah (backlog) dan mahalnya harga tanah.

Untuk mengatasi itu, konsep Hunian Berimbang  untuk  meragamkan tipe/kelas  persediaan rumah. Hunian Berimbang  jurus bijak dan cerdas membumikan asas Kebersamaan dan Keragaman (Pasal 2 huruf h UU PKP) yang menjadi modal sosial untuk harmoni pembangunan perumahan.

Tak cuma itu, Hunian Berimbang efektif mengatasi backlog dan menambah pasokan  sedian rumah umum dan rumah susun umum bagi MBR.  Patut jika Pemerintah memebuat regulasi Hunian Berimbang yang logis,  luwes  dan dapat mengatrol capaian  Program Sejuta Rumah (PSR).

Kali ini TRANSINDONESIA.CO menurunkan seri opini Muhammad Joni – Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI). Tertumpang harap agar serangkai esai  bertitel “Menimbang Hunian Berimbang” ini  menjadi  sumbang pikir  bagi Pemerintah yang tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan melanjutkan PSR tahun kedua.

Mereka yang berharap memiliki rumah layak hunia.[Dok]
Mereka yang berharap memiliki rumah layak hunia.[Dok]
Jangan Hambat Akses MBR

Tak lagi terbantahkan, kebutuhan perumahan bagi MBR  merupakan kewajiban pemerintah. Ketentuan itu eksplisit dalam UU No. 1 Tahun 2011 (“UU PKP”).  Kewajiban itu berasal dari amanat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, dan  kemudian eksplisit dalam Pasal 54 ayat (1) UU PKP.

Lantas, apakah kewajiban Pemerintah itu digeser menjadi kewajiban nonpemerintah? Penurunan derjat kewajiban asli Pemerintah itu  terjadi dengan ketentuan Hunian Berimbang yang hanya mewajibkan badan hukum swasta pelaku pembangunan.

Merujuk  ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU PKP,  badan hukum non pemerintah berkewajiban  melakukan pembangunan perumahan Hunian Berimbang yang tidak dalam satu hamparan. Ditentukan,  pembangunan rumah umum harus dilaksanakan dalam satu kabupaten/kota. Kata yang digunakan “harus”, bukan kata “wajib” bukan pula kata “dapat”

Dalam upaya melaksanakan kewajiban merumahkan rakyat yakni rumah umum bagi MBR, dan  mengatasi backlog apalagi dalam situasi Darurat Perumahan Rakyat,  tidak beralasan menghambat pembangunan rumah umum bagi MBR.

Apakah ketentuan Hunian berimbang itu menghambat MBR?

Penormaan  Hunian Berimbang yang tidak satu hamparan namun harus dalam satu kabupaten/kota adalah menghambat (blocking) pemenuhan rumah umum bagi MBR jika dibatasi hanya dalam satu kabupeten/kota.  Padahal,  pembangunan rumah MBR mestinya mengikuti permintaan dan lokasi  dimana MBR berada.

Alasan lain?  Jika regulasi membatasi Hunian berimbang tidak satu hamparan namun harus dalam satu kabupaten/kota, hal itu menghambat akses MBR terhadap pasokan rumah umum termasuk dengan  skema Hunian Berimbang.

Semestinya, tidak ada hambatan  regulasi untuk  pelaksanaan kewajiban Pemerintah dan pemda merumahkan MBR.  Hemat saya, regulasi yang menghambat pemenuhan rumah MBR adalah bertentangan  konstitusi dan vis a vis kewajiban Pemerintah dalam UU PKP.

Jika Hunain Berimbang untuk mengatasi backlog dan memenuhi kebutuhan  rumah MBR yang merupakan kewajiban Pemerintah, logis jika Pemerintah dan pemda wajib memfasilitasi pelaksanaan Hunian Berimbang.

Bentuknya? Memberikan “bantuan” dan “kemudahan” yang diamanatkan Pasal 54 UU PKP. Termasuk pula “insentif” Pasal 34 ayat (4) UU PKP.  Karena semangat UU PKP memberikan kemudahan dan bantuan,  aneh jika terbit norma yang semangatnya menghambat Hunian berimbang untuk pasokan rumah MBR.

Tersebab itu, Pemerintah dan pemda mestinya mendukung   Hunian Berimbang  dengan membiarkan pembangunan rumah umum mengikuti kemana dan dimana MBR itu berada. Walaupun lokasinya tidak dalam satu  kabupaten/kota.

Disinilah perlu ijtihat dan instrumen RPP yang menjembatani kewajiban konkuren Pemerintah dan pemda untuk pelaksanaan Hunian berimbang yang melampaui kabupaten/kota.

Lintas Kawasan

Kerabat  saya bekerja di perusahaan gas swasta  berkantor di kawasan Kuningan Jakarta, namun  bertempat tinggal di Bekasi, jaraknya tidak jauh dari Jakarta.  Kerabat yang lain, bekerja di perusahaan pembiayaan di Jalan Sudirman, Jakarta namun berumah di Serpong, Propinsi Banten.

Jamak orang  menjadi penumpang bus kota atau kereta komuter setiap hari.  Menjadi komuter.  Jutaan orang menjadi komuter.   Bekerja di Jakarta namun menetap di luar Jakarta.

Jika jutaan kaum komuter yang bekerja di Jakarta adalah  warga MBR yang masih menyewa rumah atau masih menumpang di rumah keluarga,   akankah  logis  dan bijak  badan hukum membangun  rumah MBR harus pada kota yang sama di Propinsi DKI Jakarta? Tentu saja tidak logis dan tidak bijak.

Lagi pula, faktanya  pertumbuhan kawasan dan kebutuhan rumah MBR   yang menjadi warga   kota mandiri atau kawasan  bertumbuh yang lintas  kabupaten/kota, baik  satu Provinsi ataupun berbeda Propinsi, seperti  Cibubur atau Cimanggis terhadap  Bekasi, Depok dan kabupaten Bogor, atau  seperti  Cibubur dan Cinere terhadap  Jakarta.

Bukankah  keberadaan MBR, pertumbuhan  kota dan kawasan, dan perlintasan pekerja termasuk MBR, tidak terbatas hanya dalam lingkungan satu kabupaten/kota? Lumrah,  arus MBR melewati batas administrasi formil otoritas pemerintahan.

Karena itu tidak tepat membatasi kewajiban Hunian Berimbang harus  dalam satu kabupaten/kota yang sama.

Postulatnya: membangun rumah umum bagi MBR,  ikuti kemana MBR berada, tak usah tergopoh harus dalam satu kabupaten/kota.  Biarkan jika dalam kabupaten/kota berbatasan.

Dengan argumentasi itu, beralasan jika mendorong Hunian berimbang yang luwes yang tidak tersandera sekat administrasi pemerintahan.

Yang Terhormat Bapak Presiden, ini saatnya menimbang ulang Hunian Berimbang untuk optimalisasi PSR.  Demi visi Nawacita.[Muhammad Joni]

Share