Kisah Shandra Woworuntu Korban Perbudakan Seks di Amerika [5]
TRANSINDONESIA.CO – Saat Shandra Woworuntu menginjakkan kakinya di AS, ia berharap bisa memulai karir baru di industri perhotelan. Namun ia justru dijerumuskan ke dunia prostitusi dan perbudakan seksual, dipaksa mengkonsumsi obat-obatan dan mengalami kekerasan.
Setelah berhasil kabur, polisi mengabaikan laporannya, dan Konsulat RI juga menolak memberinya bantuan hingga ia jadi gelandangan. Kisah ini mungkin akan tak tertahankan bagi sebagian pembaca, seperti dilansir dari bbc.com, berikut penuturan Shandra;
Para penyelundup manusia itu berasal dari Indonesia, Taiwan, Malaysia Cina dan Amerika. Hanya dua dari mereka yang bisa berbicara bahasa Inggris – sebagian besar dari mereka hanya akan menggunakan bahasa tubuh, mendorong-dorong, dan menggunakan kata-kata kasar.
Satu hal yang paling membuat saya bingung dan ketakutan malam itu, dan terus membebani saya di minggu-minggu berikutnya, adalah bahwa salah satu dari mereka memiliki lencana polisi. Sampai hari ini saya tidak tahu apakah ia benar-benar seorang polisi.
Mereka bilang saya berutang kepada mereka sebesar US$30.000 (atau sekitar Rp400juta dengan kurs sekarang) dan saya harus mengangsur utang senilai US$100 setiap kali melayani seorang pria.
Selama berminggu-minggu dan bulan-bulan berikutnya, saya dibawa pulang pergi ke rumah bordil yang berbeda-beda, apartemen-apartemen, hotel-hotel dan kasino-kasino di Pantai Timur. Saya jarang berada di tempat yang sama dalam dua hari, dan saya tidak pernah tahu di mana saya berada atau ke mana saya pergi.
Rumah-rumah bordil ini tampak seperti rumah-rumah biasa dari luar dan ada diskotek di dalamnya, dengan lampu kelap-kelip dan musik hingar bingar. Kokain, shabu-shabu dan ganja diletakkan di atas meja.
Para bandit itu menyuruh saya mengkonsumsi narkoba di bawah todongan senjata, dan mungkin itu yang bisa membuat saya bbisa mengatasi paksaan seksual itu. Siang dan malam, saya hanya minum bir dan wiski karena hanya minuman itu yang ditawarkan. Saya tidak tahu waktu itu bahwa di Amerika kita bisa minum air keran.
Selama dua puluh empat jam dalam sehari, kami gadis-gadis menghabiskan waktu dengan duduk-duduk, dalam keadaan benar-benar telanjang, menunggu para pelanggan. Jika tidak ada yang datang maka kami bisa tidur sebentar, meskipun tidak pernah di ranjang. Tapi ketika pelanggan sepi juga merupakan saat yang digunakan para penyelundup manusia itu untuk memperkosa kami.[Nik]