TRANSINDONESIA.CO – Upaya rekonstruksi dan konservasi kampung adat Jangga Dolok di Tobasa merupakan momentum untuk penyelamatan rumah-rumah adat Batak, sebagai habitat peradaban yang sangat kaya.
“Jika komitmen dan kepedulian tak juga terbangun, bisa dipastikan satu demi satu rumah, satu demi satu kampung yang tersisa, yang berusia ratusan tahun itu, tempat budaya dan peradaban Batak tumbuh dan berkembang, akan punah dari muka bumi. Anak cucu kita kelak hanya bisa melihat gambarnya di buku-buku tua. Mereka akan menangis menyesali kita sebagai pewaris yang lalai,” kata Kepala Anjungan Sumatera Utara Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Tatan Daniel, pada acara diskusi bertema ‘Menyelamatkan Rumah Adat Batak’, di Ruma Bolon, Anjungan Sumut TMII, akhir pekan kemaren.
Dimana minimnya kepedulian dan perhatian terhadap penyelamatan bangunan-bangunan tua, khususnya rumah-rumah tradisional (rumah adat) dan kasus terbakarnya rumah-rumah tradisi yang sudah berusia 250 tahun di kampung adat Jangga Dolok, di Lumban Julu, 40 km dari Balige, pada malam tahun baru 31 Desember 2015 yang lalu, menggerakkan Anjungan Sumut TNII bersama Komunitas Seniman Tradisi Sumut (Kosentra) dan Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) untuk menggalang kepedulian.
Gagasan rekonstruksi dan penyelamatan rumah-rumah adat tersebut dimulai dari Anjungan Sumut TMII melalui beberapa pertemuan antar pimpinan anjungan, Tatan Daniel dan seorang arsitek yang aktivis kebudayaan, Ir.Joyce Sitompul, serta Jhohannes Marbun mewakili YPDT.
Dimana empat rumah dan satu sopo, buatan arsitek jenius lokal tanah Batak itu, di sebuah tempat merupakan salah satu dari ‘100 surga tersembunyi’ di Indonesia, oleh sebab percikan kembang api, begitu saja musnah, rata dengan tanah, setelah ratusan tahun mereka berdiri tegak.
Bangunan tradisi, apalagi kampung adat, tentu saja mengandung makna yang penting bagi peradaban sebuah etnis. Ia tidak semata berfungsi sebagai tempat berteduh. Melainkan tempat asal-usul, sejarah, kenangan, filosofi, masa depan, sistem berpikir, kosmologi, mitologi, kearifan lokal lahir, tumbuh, dan berkembang.
Sejauh ini pemerintah lebih mengutamakan pelestarian arsitektur tua peninggalan zaman kolonial, seperti kota tua Jakarta. Padahal di Indonesia sangat banyak bangunan-bangunan tua berupa rumah tradisional (adat) yang memerlukan perhatian khusus. Selain fungsinya sebagai sumber kearifan lokal, juga karena kondisi fisiknya yang mengkhawatirkan.
Sementara, Yori Antar, arsitek dikenal yang gigih menggali dan memperjuangkan ilmu pengetahuan tentang arsitektur lokal untuk dipelajari di berbagai perguruan tinggi, serta mendokumentasikan, dan membangun kembali berbagai arsitektur nusantara di berbagai pelosok kampung.
“Ada banyak pengetahuan yang dapat dipetik dalam proses pembangunan rumah-rumah adat itu. Jika rumah adat yang sudah musnah di Jangga Dolok itu dapat dibangun kembali, secara filosofi itu adalah pencarian sekaligus penemuan kembali ilmu pengetahuan, tradisi luhur, dan bermacam harta karun kebudayaan Batak,” katanya.
Yori sangat prihatin melihat fenomena terancam punahnya arsitektur tradisional di nusantara yang terlupakan di antara megahnya bangunan modern. Diperparah lagi dengan tidak adanya dokumentasi berupa rekaman catatan, filem, atau buku yang otentik dan lengkap mengenai pengetahuan merancang rumah-rumah adat tersebut. Padahal, menurutnya, bangunan tradisional yang dimiliki setiap suku di Indonesia itu merupakan harta dan jatidiri bangsa, yang berpotensi menginspirasi dunia.
“Jika kita membiarkan kepunahan rumah-rumah adat itu terjadi dan tidak melakukan apa-apa, maka saya merasa kita telah melakukan dosa profesi sebagai seorang arsitek,” tegas Yori yang sejak tahun 2008 membuat gerakan Rumah Asuh, dengan mengajak para mahasiswa terpilih untuk belajar kepada para pemangku dan masyarakat kampung adat selama satu setengah bulan dalam membangun rumah-rumah tradisional di tanah air.
Didukung oleh para donatur pilantropis, akademisi, bersama masyarakat setempat, program Rumah Asuh sudah berjalan di Wae Rebo-Flores, di kampung adat di Nias, di kampung adat Ratenggaro, Waingapu, dan Rumah Budaya di Waetabula, Sumba Barat Daya serta Balai Pertemuan untuk Musyawarah Adat Lobo Ngata Toro di Sulawesi Tengah. Yang mutakhir, Rumah Asuh secara aktif terlibat dalam kkegiatan pembangunan kembali beberapa rumah gadang yang terbakar pada tahun 2013, di kampung Sumpur, di tepi danau Singkarak, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Kegiatan tersebut digalang bersama Forum Kampuang Minang Nagari Sumpur, Universitas Bung Hatta, Tirto Utomo Foundation, Badan Pelestarian Pusaka Indonesia, dan Pemkap Tanah Datar.
Keprihatinan yang sama disampaikan oleh Dr. Ir. Bisuk Siahaan, penyusun buku tentang kebudayaan Batak sebgai “Warisan Leluhur Yang Terancam Punah”, yang mencemaskan punahnya arsitektur Batak yang indah itu.
“Pada dasarnya melestarikan rumah adat adalah melestarikan pengetahuan yang ada di dalamnya. Dan dengan sendirinya melestarikan lingkungan alam di sekitarnya. Jikalau tidak dilestarikan, nanti tidak ada orang yang mengetahui cara membuat rumah adat itu lagi. Bagaimana teknologinya, apa bahannya, dan sebagainya. Saat ini kepunahan tersebut sudah di depan mata kita,” ungkapnya.
Sedangkan Dr.Cosmas Batubara yang hadir sebagai salah seorang pakar dan narasumber, sangat menyambut baik upaya penyelamatan rumah adat Batak itu.
“Kepedulian harus digerakkan. Peranserta masyarakat dan tokoh adat serta budayawan menjadi penting. Kita harus lanjutkan gerakan ini. Harus ada yang bisa diwujudkan. Saya sangat mendukung. Saya mengundang peserta diskusi untuk melakukan pertemuan berikutnya di tempat saya,” kata mantan Menteri Perumahan dan Rakyat era Presiden Soeharto.
Ketua Umum Yayasan Pencinta Danau Toba, Drs. Maruap Siahaan, MBA, menegaskan bahwa YPDT berkomitmen untuk mendorong masing-masing stakeholder menyelamatkan rumah Batak. Dan akan membentuk tim penyelamatan rumah Batak dengan melibatkan seluruh pencinta Danau Toba.
Pertemuan dengan topik penyelamatan arsitektur Batak, yang baru pertama kali diselenggarakan di Anjungan Sumatera Utara Taman Mini “Indonesia Indah” itu, dihadiri juga oleh Prof. Dr. Ing.Uras Siahaan (UKI), Dr. Parluhutan Manurung, Prof. Gunawan Tjahjono (Guru Besar Arsitektur UI); Ir. Joyce Sitompul, Ir. Parlin Sianipar (Ketua Umum Forum Masyarakat Balige), Jesman Gultom (Pegiat Aksara Batak), Saut Poltak Tambunan (Sastrawan), Ary Dananjaya Cahyono Silaban; Drs. Jerry RH Sirait, Mula Sinaga (Kemendikbud RI); Galuh Widati (Dekan FT UKI), dan beberapa peserta lainnya.
Diskusi menghasilkan rencana rekonstruksi kampung adat Jangga Dolok dan penyelamatan rumah-rumah dan sopo Batak di berbagai kawasan Danau Toba. Pelestarian warisan arsitektur itu dilakukan dengan mengutamakan peran partisipasi masyarakat, sebagaimana pengalaman yang disampaikan oleh Yori Antar dalam membangun kembali beberapa rumah dan kampung adat di berbagai tempat di pelosok Indonesia.
Melibatkan seluruh pihak terkait, termasuk juga kalangan universitas, dan seniman dan budayawan. Teknologi dan sistem pengamanan dini untuk pencegahan kebakaran yang kerap terjadi harus segera diterapkan. Begitu pula dengan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, akan didorong untuk dilaksanakan demi pemeliharaan dan pelestarian rumah-rumah budaya itu.
“Ketika di kota banyak orang telah kehilangan rumah, dan mal, kafe, resto, bar, telah menjadi rumah artifisial, saat di kampung halaman rumah-rumah tradisi satu-satu runtuh, maka kita sudah kehilangan ruang perenungan, ruang untuk merawat rasa syukur. Kehilangan ruang kenyamanan yang alami dan manusiawi. Karena itu kepedulian terhadap keberlangsungan rumah-rumah tradisi itu, dengan segenap kebudayaan luhur yang lahir dan tumbuh di sana, harus kita bangkitkan,” tegas Tatan.[Rel/Saf]