Ayat Perumahan Rakyat [7]: Program Sejuta Rumah Bisa Gagal, Jika …..
TRANSINDONESIA.CO – Bertempat tinggal adalah takdir manusia. Karenanya manusia selain makhluk sosial dan makhluk ekonomi, juga makhluk bermukim. Rumah sebagai bentuk fisik tempat tinggal tak hanya atap, lantai dan dinding, namun perlu lingkungan yang sehat dan layak huni.
Sebagai kebutuhan dasar manusia, pangan, sandang dan papan, maka negara wajib hadir menyahuti itu.
Tulisan “Ayat Perumahan Rakyat” ini akan memuat 10 serial mengulas ikhwal alasan pentingnya perumahan rakyat.
Skala masalah perumahan rakyat yang luas dan kompleks tentu tak bisa diulas sempurna, namun 10 seri tulisan ini menyajikan sebagian dari kompleksitas isu perumahan rakyat. Ibarat undang-undang, seri tulisan ini hanya satu ayat saja “Ayat Perumahan Rakyat” yang diulas oleh penulis Muhammad Joni, secara lugas dan berani kepasa majelis pembaca TransIndonesia.co.
Program Sejuta Rumah Bisa Gagal, Jika …..
Majelis pembaca TransIndonesia.co yang bersemangat. Jika ada kerabat atau keluarga anda sendiri belum memiliki rumah, sepatutnya menyiapkan kesabaran mencerna esai “Ayat Perumahan Rakyat” seri ke-7 ini. Bisa jadi kerabat anda itu satu dari perhimpunan warga yang didefenisikan sebagai backlog alias defisit rumah.
Diwartakan, data resmi BPS ihwal backlog dipatok angka 13,6 juta unit. Jika sebelum Program Sejuta Rumah (PSR) produksi rumah bersubsidi untuk masyarakat berpengasilan rendah (MBR) sebanyak 200 ribu unit per tahun, sehingga hanya 1 juta ujit dalam 5 tahun, maka dengan pertumbuhan 0% (nol persen), butuh waktu 68 tahun memenuhi rumah MBR. Satu generasi. Masih sabar menunggu?
Itu dari sisi persediaan (supply side). Bagaimana sisi penawaran? Lemahnya permintaan disebabkan menjuangnya harga rumah rakyat, walaupun disubsidi pemerintah. Harga tanah yang menjulang dan kenaikan rata-rata harga tanah di Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang mencapai 57% per tahun dan kenaikan harga rumah rata-rata di empat kota itu sebesar 36% (P&B, Edisi 112-2015).
Syukur, kabar gembira datang dengan kebijakan Bantuan Uang Muka (BUM), penurunan uang muka bunga KPR dari 5% menjadi menjadi 1%, pemangkasan bunga kredit FLPP dari 7,25% flat 20 tahun menjadi hanya 5% per tahun, dan bantuan uang muka Rp4 juta. Sebut saja pembiayaan inovatif “pola 5-4-1”.
Namun, pembiayaan perumahan hanya satu aspek saja memperkuat daya beli dan daya cicil MBR formal, walaupun ada hambatan khusus bagi MBR informal yang harus diintervensi pula. Kalau pembiayaan disiapkan namun tidak bisa menaikkan pendapatan MBR, sementara harga rumah menjuju naik melebih kenaikan upah minimum pekerja, maka harga rumah subsisidi MBR akan tetap naik menjulang.
Mengapa? Sebab harga tanah, baik untuk perumahan rakyat atauun rumah komersial tidak dikendalikan Pemerintgah. Tidak diintervensi. Kelangkaan tanah menjadi faktor menghambat, bahkan gagalnya PSR.
Dengan harga rumah besubsidi yang dipatok Pemerintah, namun haga itu tidak “masuk” untuk produksi rumah MBR, pengembang mana yang akan berkenan rugi? Karena itu jangan puas pada pembiayaan PSR dengan pola 5-4-1. Tanpa menyiapkan bank tanah untuk menyukseskan PSR.
Kaum MBR menunggu rentetan kabar gembira lain ihwal penyediaan tanah dengan pembentukan bank tanah, revitalisasi aturan hunian berimbang, revitalisasi Kasiba-Lisiba, dan optimalisasi tanah-tanah milik pemerintah dan pemerintah daerah, BUMN dan BUMD serta tanah terlantar.
Intervensi
Akankah negara berdiam? Atau berhenti dengan keputusan? Bukankah sejahtera alasan konstitusional bernegara? Di lapangan, harga-harga menaik. Lazim, itulah perilaku pasar. Namun, tak elok jika penyelenggara negara pasrah kepada pasar, dan acap kali mengambil langkah klise menaikkan harga. Tak terkecuali rumah rakyat untuk MBR. Akankah Pemerintah takluk dan tergoda menaikkan harga rumah bersubsidi bagi kaum MBR?
Faktanya, harga rumah rakyat bersubsidi untuk kaum MBR terus-terusan dinaikkan. Padahal, menaikkan harga bukan jalan satu-satunya. Jika mengacu Pasal 54 ayat (2) dan (3) UU No. 1 Tahun 2011, masih banyak cara mempertahankan daya beli MBR. Tak hanya takluk pada pasar yang tersandera eskalasi harga tanah, material dan biaya mengurus perizinan, dan sebagainya.
Andai kemudahan dan bantuan dalam bentuk subsidi, stimulan, insentif pajak, perizinan murah, penyediaan lahan, sertifikasi tanah dan prasarana, sarana dan utilitas (yang merupakan kewajiban Pemerintah), bisa digiatkan optimal maka tak perlu kuatir dengan backlog.
Ketersediaan rumah rakyat bagi MBR dan kendali atas harga jualnya terjadi andai dikendalikan pula harga komponen utamanya: tanah! Jika bank tanah direalisasikan tahun ini, lompatan besar menyukseskan agenda PSR. Tidak harus menunggu 68 tahun menyelesaikan backlog.
Sebaliknya, tanpa mengendalikan faktor utama eskalasi harga tanah dan tidak adanya bank tanah untuk perumahan rakyat, diprediksi harga rumah terus membubung. Jika tidak membuat bank tanah dan tidak pula efektif mengendalikan harga tanah untuk rumah MBR, pada titik itu negara abai memenuhi kesejahteraan atas rumah.
Mengapa bank tanah lamban dibentuk? Hemat penulis karena Pasal 14 ayat (1) UU Pokok Agraria (UUPA) tidak eksplisit menyebutkan persediaan tanah untuk perumahan rakyat.
UU PA hanya sebutkan rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah (1) untuk keperluan Negara, (2) untuk keperluan peribatan, (3) untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan, dan lain-lain kesejahteraan, (3) untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan, dan perikanan dan yang sejalan itu, (4) untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan. Soal ini akan diulas dalam “Ayat Perumahan Rakyat” seri berikutnya
Di negara lain yang nun berada di sana, kekuasaan Negaranya lunglai mengatasi harga tanah. Di negara berpenduduk besar dengan backlog tinggi yang terletak nun di sana itu, kondisi itu diidentifikasi kaum intelekual di sana tengah terjadi relasi “tidak senonoh” antara negara dengan rakyat. Mengapa? Negara nun di sana itu abai mengendalikan harga tanah untuk rumah rakyat.
Mari menilik kondisi negara nun di sana, meminjam pandangan negarawan Bapak Proklamator Muhammad Hatta. Titahnya, pemisahan konsep kedaulatan politik dengan kedaulatan ekonomi (sebut saja Imperium versus Dominium), disebabkan produk sejarah yang “tidak senonoh”. (Tabloid Pergerakan Daoelat Ra’yat, Tahun I, 1931, No.1, hal.2, dalam Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi dan Konstiotusionalisme di Indonesia”, hal.123).
Sungguh, sejarah yang tidak senonoh lahir dari pemikiran yang tidak senonoh dalam melakoni relasi negara dengan rakyat. Mengapa? Dahulu, berkembang pemikiran yang memisahkan konsep Imperium versus Dominium secara diametral. Imperium adalah konsep mengenai “rule over all individuals by the prince”. Dominium adalah konsep mengenai “rule over things by individuals”. (Baron de Montesquieu, L’Esprit dos, dalam Morris R. Cohen, Law and Social Order: Essays In Legal Philosophy, dalam Jimly Asshiddiqie, hal.121-123).
Dari titah Montesquieu itu, politik tidak mengurus ekonomi alis kesejahteraan rakyat. Katanya, dengan hukum publik (political law) kita memperoleh kebebasan, dengan hukum perdata kita memperoleh hak milik (property). Rakyat dipahami hanya berdaulat dalam bidang politik. Nasib rakyat dalam bidang ekonomi diserahkan kepada keuletan, kemauan pribadi, dan daya kompetisinya di arena pasar bebas.
Negara tidak mengurus perut dan mulut, tamsil untuk ekonomi dan kesejahteraan sosial. Kebijakan menaikkan harga rumah rakyat untuk MBR, tanpa dibarengi pengendalian harga tanah, sangat mungkin merupakan reproduksi pemikiran yang memisahkan Imperium dengan Dominium.
Belajar dari pengalaman negara lain nun di sana itu, PSR mesti diangkat sebagai menjalankan amanat agung konstitusi. Sudah “takdir” Pemerintah meyediakan rumah untuk rakyat kaum MBR, termasuk mengendalikan harga tanah.
Dari ulasan itu, semestinya Pemerintah tidak menunda pembentukan bank tanah. Tidak tergopoh menaikkan harga rumah rakyat. Tidak menjadi Imperium.
Oleh: Muhammad Joni [Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute]