Ayat Perumahan Rakyat [5]: Abaikan Konsolidasi Tanah, Tata Ruang Tajam Ke Bawah?
TRANSINDONESIA.CO – Bertempat tinggal adalah takdir manusia. Karenanya manusia selain makhluk sosial dan makhluk ekonomi, juga makhluk bermukim. Rumah sebagai bentuk fisik tempat tinggal tak hanya atap, lantai dan dinding, namun perlu lingkungan yang sehat dan layak huni.
Sebagai kebutuhan dasar manusia, pangan, sandang dan papan, maka negara wajib hadir menyahuti itu.
Tulisan “Ayat Perumahan Rakyat” ini akan memuat 10 serial mengulas ikhwal alasan pentingnya perumahan rakyat.
Skala masalah perumahan rakyat yang luas dan kompleks tentu tak bisa diulas sempurna, namun 10 seri tulisan ini menyajikan sebagian dari kompleksitas isu perumahan rakyat. Ibarat undang-undang, seri tulisan ini hanya satu ayat saja “Ayat Perumahan Rakyat” yang diulas oleh penulis Muhammad Joni, secara lugas dan berani kepasa majelis pembaca TransIndonesia.co.
Abaikan Konsolidasi Tanah, Tata Ruang Tajan Ke Bawah?
Majelis pembaca TRANSINDONESIA.CO yang budiman. Dimanapun anda sedang membaca “Ayat Perumahan Rakyat” seri ke-5 ini, pastinya berada dan menempati ruang. Mengisi spasial: jarak, lokasi, bentuk, dan ukuran. Tidak ada makhluk yang tak bertemali dengan ruang. Keterikatan dengan ruang, menjadikan tata ruang “panglima” dalam otoritas dan pola penguasan tanah.
Diperlukan ‘panglima” yang adil, pro kesejahteraan rakyat, dan lugas-tegas. Untuk mencegah konflik dan perebutan ruang yang frontal. Sejawat saya sosiolog perkotaan Dr.Rohani Budi Prihatin, menulis ikhwal heboh penggusuran Kalijodo yang dikaitkannya dengan perebutan ruang. Untuk siapakah ruang ditata?
Izinkan saya mengandaikan anda menyukai aktifitas blusukan yang acap menengok kerumitan dan seluk beluk perumahan rakyat dari lapangan.
Setakat blusukan ke kawasan kumuh, atau permukiman padat penduduk, dengan jalan kecil berliku, suluran pembuangan air yang meliuk di kiri kanan rumah, tata letak bangunan rumah yang semberaut dan tak beraturan, merupakan pemandangan fisik lingkungan yang masih kentara di berbagai kota di Indonesia bahkan di belahan dunia.
Itu kondisi fisik dan lingkungan kawasan permukiman kumuh. Belum lagi jika ditelisik aspek kepemilikan tanah dan bangunan, jenis hak atas tanah, bentuk persil tanah yang tidak beraturan, luas tanah yang kecil-kecil dan dimiliki banyak pihak, sehingga perlindungan dan kepastian hukum tanah di kawasan permukiman kumuh menyisakan banyak persoalan hukum agraria.
Dengan kondisi fisik dan lingkungan serta aspek legalitas kepemilikan tanah di kawasan kumuh seperti itu, maka salah satu jalan “kreatif” dan manusiawi mengatasinya dengan konsolidasi tanah.
Itu cara yang mengayomi dan dalam setarikan nafas melindungi hak-hak warga yang menjadi peserta agenda konsolidasi permukiman itu. Jelas konsolidasi permukiman dengan konsolidasi tanah, jalannya lebih rumit dan kompleks, karena menghendaki komunikasi, partisipasi, dan meremajalan kawasan.
Konsolidasi jauh lebih rumit dari pada menghapuskan dan memindahkan kekumuhan ke ruang yang lain. Agak vulgar jika ada yang membuat tamsilnya seperti menyapu dan mengangkat sampah?
Kalau konsolidasi tanah? Cara itu menghendaki partisipasi dan sekaigus perlindungan hak, bahkan bisa jadi peningkatan haknya atas tanah. Sedangkan pemindahan (penggusuran) itu faktanya eliminasi dan menyaring warga berada dan memasuki wilayah dan ruang.
Dalihnya, menata kawasan agar kekumuhan tidak memasuki kota sebagai wilayah dan ruang yang hendah dinyamankan dan diindahkan. Hendak dibedaki alias “beutifikasi”, meniru ungkapan Jehansyah Siregar, pakar perumahan publik Institut Teknologi Bandung (ITB) saat Rapat Kerja Housing and Urban Developmen (HUD) Institute, di Bandung, 4 Maret 2016.
Mengapa menyukai konsolidasi tanah? Sebab konsolidasi tanah itu lebih manusiawi, partisipatif, tidak menyaring warga dari ruang, dan mendukung kota yang inklusif. Justifikasi konsolidasi tanah itu diakui dan tersedia dalam norma UU No. 1 Tahun 2011.
Selain sah sebagai norma UU, jurus konsolidasi tanah itu berguna untuk menata ulang pola penguasaan tanah yang tidak beraturan menjadi lebih tertata dan beraturan guna memenuhi syarat-syarat kelayakan dan kenyamanan versus kekumuhan.
Tersebab itu, konsolidasi tanah demi kepentingan rakyat dan demi kota inklusif bagi segala kelompok warga kota. Akankah konsolidasi tanah, misal kata di kawasan permukiman kumuh, mengabdi hanya kepada tata ruang atau mengabdi kepada kepentingan rakyat?
Konsolidasi tanah mengatasi kawasan kumuh warga kota, dipersyaratkan dengan pembatasan dan syarat tata ruang yang formalistik? Artinya, konsolidasi tanah acapkali diabaikan dan kalah jika diperhadapkan dengan regulasi formal rencana tata guna tanah/ruang? Lantas kalau konsolidasi tanah diperhadapkan dengan kaputusan formal atau regulasi ikhwal tata ruang, pertayaannya untuk siapakah keputusan “politik” penataan ruang diabdikan?
Kalau boleh menduga, agaknya demikian jalan berfikir sahabat saya Dr. Rohani Budi Prihatin, peneliti sosiologi perkotaan Pusat Penelitian (Puslit) Sekretariat Jenderal DPR RI yang menulis opini berjudul “Kalijodo dan Pertarungan Merebut Ruang”, di Harian Pelita, 2 Maret 2016 lalu.
Idemditto dengan pola penguasaan tanah untuk kepentingan rakyat, maka demikian pula tata ruang dan wilayah mestilah pro kepentingan rakyat. Karenanya rencana tata ruang tidak elok jika hanya dirancang dan bekerja demi tata ruang itu sendiri.
Sebab, sesuai pronsip Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), bahwasanya tanah, air, dan ruang adalah demi sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Tata ruang semestinya juga pro kepada masyarakat kurang beruntung yang tinggal di kawasan kumuh.
Keputusan politik dan kebijakan otoritas daerah atas penataan ruang tidak boleh “tajam ke bawah”, dan sebaliknya tata ruang tidak adil jika “tumpul ke atas”.
Diwartakan, acap Peraturan daerah (Perda) mengenai Rencana tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dianiayai dengan memberikan ijin pembangunan di pusat kota.
Merujuk pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Dr.Nugroho SBM, (http://nugroho-sbm.blogspot.co.id) yang mengutip pendapat Dr. Ir Tommy Firman bahwa kebanyakan rencana tata ruang kota tidak disusun dengan mengakomodasikan kegiatan ekonomi masyarakat yang memang sangat dinamis.
Menurut Dr.Nugroho SBM, kasus perubahan drastis kawasan Simpang Lima, Semarang dari kawasan perkantoran, olahraga dan keagamaan menjadi kawasan bisnis akibat kurangnya pemahaman bahwa lokasi di pusat kota sangat diinginkan oleh kegiatan ekonomi atau bisnis. Katanya, penyusunan rencana kota kurang melibatkan ahli ekonomi. Ahli ekonomi dalam perencanaan kota hanya sebagai tempelan belaka.
Pandangan itu sebenarnya mempertanyakan prinsip mendasar: untuk siapakah tata ruang kota ditetapkan? Kalau Nugroho menyoal abainya ahli ekonomi, bagaimana pula aspirasi dan visi kesejahtaraan rakyat versi yang lain? Aspirasi rakyat marginal misalnya.
Soal serupa terjadi di Medan mengenai kawaan Lapangan Merdeka Medan. Merujuk Miduk Hutabarat, aktifis Komunitas taman di Medan, sudah ada Peraturan Daerah (Perda) No.11 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang (RTRW) Kota Medan, yang dalam lampiran pada peta pola ruangnya, menetapkan Lapangan Merdeka sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) skala kota.
Menurut Miduk Hutabarat dalam opininya berjudul “Merdekakan Lapangan Merdeka”, sekalipun sebuah RTH Kota masih bisa dimanfaatkan sebesar 10 persen, tentu dengan catatan, bahwa pemanfaatannya haruslah menunjang fungsi situs dan fungsi RTH tersebut.
Dalam opini Miduk Hutabarat pada koran Waspada, (09/8/2014), lugas merujuk Peraturan Daerah (Perda) No.11 Tahun 1951 yang menetapkan Lapangan Merdeka sebagai TANAH LAPANGAN MERDEKA. Sejarahnya, pada 6 Oktober 1946 para Pemuda Barisan Pelopor Indonesia (BPI) berkumpul di lapangan tersebut bersama Gubernur Sumatera Mr. T.M Hasan mendengar isi teks proklamasi tulisan Presiden Soekarno. Tersebab itu, situs bersejarah bernama “esplanade” atau lapangan “fukuraido” itu dinamakan Lapangan Merdeka. Situs itu memiliki sejarah yang kuat.
Lantas, tetap relevan mengajukan pertanyaan: untuk siapakah keputusan politik dan kebijakan tata ruang kota ditetapkan? Ikhwal kasus-kasus pelanggaran tata ruang, akankah penegakan hukum tata ruang hanya tajam ke bawah?
Pertanyaan lain yang patut diajukan? Apakah kebijakan dan politik tata ruang dan wilayah di perkotaan mengadopsi paradigma kota inklusif? Sehingga penataan kota dan wilayah menuju kota yang selesa dan diterima bagi semua warga.
Abaikan Konsolidasi Tanah
Bagi warga masyarakat yang memiliki luas tanah kecil di kawasan kumuh, yang berhimpitan dengan batas tanah milik tetangganya, baik di samping kiri dan kanan maupun belakang, jangan tergopoh mengatasinya dengan penggusuran dan pemindahan ke tempat lain, bisanya rumah formal vertikal dalam bentuk rumah susun (rusun) sewa.
Apalagi jika warga dalam kawasan kumuh itu hanya menguasai saja tanah, atau memeilik tanah namun belum didaftarkan (sertifikasi) sehingga semakin kuat alasan mengatasi pemukiman kawasan kumuh hanya dengan merapihkan, menggusur dan memindahkan ke tempat baru.
Secara yuridis konstitusional, pemilik tanah berhak menggunakannya untuk membangun sendiri rumah tempat tinggal secara swadaya, baik secara sendiri-sendiri ataupun berkelompok dan berbasis komunitas. Maksudnya, direncanakan, dibangun kembali dan dikelola oleh komunitas setempat, bukan dengan mengajak atau menggunakan pelaku usaha atau pengembang formal.
Ikhtiar konsolidasi tanah yang dibuka dengan UU Nomor 1 Tahun 2011 (Pasal 106 huruf b), walaupun prosedur dan syaratnya lebih rumit dan kompleks, namun menjadi jurus untuk bisa memperkuat “hubungan batin” dan akseptasi warga dengan kotanya. Merealisasikan watak kota yang inklusif dan penerimaan otoritas kota kepada warga yang kurang beruntung karena menghuni kawasan kumuh di perkotaan.
Konsolidasi tanah warga masyarakat di kawasan kumuh di perkotaan sedemikian, secara teknis yuridis maupun teknik dapat dikembangkan, termasuk menerapkan hunian vertikal dalam format konsolidasi tanah untuk permukiman.
Konsolidasi tanah sebagai suatu model pembangunan pertanahan, dalam Pasal 1 butir 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 dirumuskan sebagai Kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Tak hanya konsolidasi tanah semata, namun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 menentukan bahwa kegiatan konsolidasi tanah meliputi penataan bidang-bidang tanah termasuk hak atas tanah dan/atau penggunaan tanahnya dengan dilengkapi prasarana jalan, fasilitas lingkungan dan/atau serta fasilitas penunjang lainnya yang diperlukan, dengan melibatkan partisipasi para pemilik tanah dan atau penggarap tanah.
Merujuk Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991, konsolidasi tanah adalah kebijakan pertanahan untuk mengatasi kawasan permukiman kumuh dengan meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat sehingga terwujud tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur.
Tersebab konsolidasi tanah dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang bermukim dan atau memiliki hak atas tanah pada kawasan permukiman kumuh, maka lebih partisipastif dan menggerakkan keswadayaan.
Walaupun demikian perlu advokasi dan edukasi kepada warga perihal konsolidasi tanah. Hal itu untuk mendorong persetujuan bahkan peranserta mereka agar tidak usah kuatir dengan proses dan prinsip konsolidasi tanah.
Sebab, langkah melepaskan hak atas tanah dan penguasaan fisik tanah yang terhimpun untuk ditata kembali sehingga menjadi satuan-satuan baru, dan sebagian lagi dikembalikan kepada penghuni dan atau pemilik asal.
Selain itu, sebagian tanah-tanah yang dihimpun itu disumbangkan lagi menjadi lahan bagi pembangunan prasarana jalan dan fasilitas-fasilitas lain, serta untuk pembiayaan pelaksanaan konsolidasi tanah.
Keberhasilan dalam melakukan konsolidasi tanah mesti diupayakan terus dan semakin banyak “kisah sukses” konsolidasi tanah sehingga meyakinkan pemerintah maupun warga memilih alternatif penataan kawasan kumuh dengan jurus konsolidasi tanah.
Konsolidasi tanah, menurut Hasni dalam “Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah”, PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 310, dilakukan dengan prinsip-prinsip berikut ini:
(1) Kegiatan konsolidasi tanah membiayai dirinya sendiri.
(2) Adanya “land polling” yang menjadi ciri khas konsolidasi tanah.
(3) Hak atas tanah sebelum dan sesudah konsolidasi tidak berubah menjadi lebih tinggi atau lebih rendah.
(4) Konsolidasi tanah melibatkan peranserta secara aktif para pemilik tanah.
(5) Tanah yang diberikan kembali kepada pemilik mempunyai nilai lebih tinggi daripada sebelum konsolidasi tanah.
Untuk mengatasi kawasan permukiman kumuh, dan kelangkaan tanah untuk permukiman dan harga tanah yang tinggi di perkotaan, namun di sisi lain masih banyaknya penduduk miskin di perkotaan yang membutuhkan rumah layak huni, hemat saya bisa mengambi jurus konsolidasi tanah.
Karena tanah-tanah sudah dimiliki atau dikuasai masyarakat namun berada dalam kawasan kumuh dan rumah yang tidak layak huni, maka jurus konsolidasi tanah merupakan kebijakan yang tepat, partisipatif, dan membenihkan simpati masyarakat.
Jurus sedemikian mendekati prinsip kota yang inklusif dengan warganya. Terhindar dari tudingan bahwa pengentasan kawasan kumuh menjadi jaring yang memindahkan warga masyarakat kurang beruntung dari lingkunannya sendiri. Menjauh dari kotanya sendiri.
Dalam penanganan permukiman kumuh di Propinsi DKI Jakarta dengan prioritas pembangunan permukiman dengan menyediakan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang digunakan untuk relokasi warga permukiman liar.
Cermatilah laporan media perihal proyek rusunawa yang telah terbangun yang terisi kembali oleh warga yang dipindahkan dari kawasan kumuh. Diwartakan, rusunawa Marunda, Cilincing (Jakarta Utara) yang dihuni sekitar 900 keluarga dari bantaran waduk Pluit, rusunawa Pinus Elok (Jakarta Timur) yang dihuni sekitar 500 keluarga dari bantaran waduk Pluit, Pedongkelan, dan gusuran komplek KPK-Kuningan, rusunawa Komarudin (Jakarta Timur) yang dihuni oleh 200 keluarga sekitar Kali Sentiong.
Diwartakan juga, (mungkin) untuk maksud memampung eks warga pindahan dari kawasan kumuh, tercatat sejumlah Rusunawa yang dibangun di kawasan Pulogebang (24 blok, 400 unit), Jatinegara Kaum (2 blok, 200 unit), Cipinang Besar Selatan (2 blok, 200 unit), Jatinegara Barat (3 blok (menara), 68 unit), Daan Mogot (8 blok, 800 unit), Muara Baru (8 blok, 800 unit), Tambora (3 blok (menara), 560 unit), Rawa Bebek (6 blok, 600 unit). (Kompas, “Lompatan Jakarta”, 20 Desember 2014).
Dimanakah minat menggunakan jurus konsolidasi tanah yang terbuka peluangnya dalam hukum kita untukmengatasi kawasan kumuh kota Jakarta? Perlu dikritisi pendekatan mengatasi kawasan permukiman kumuh yang hanya bergaya “memperindah” kawasan. Yang mengakibatkan “tersaring”-nya kelompok masyarakat marginal dalam kawasan kumuh dan tidak layak huni itu dari kotanya sendiri.
Pendekatan sedemikian agaknya vis a vis dengan konsepsi kota inklusif yang menjadi ruang dan kota bersama bagi semua warga. Anjuran Ayat Perumahan Rakyat yang dirumuskan UU Nomor 1 Tahun 2011 (Pasal 106 huruf b), menggugah terbitnya pertanyaan dimanakah diterapkan konsolidasi tanah itu?
Terhadap pelanggaran tata ruang yang diancam dengan sanksi pidana sekalipun, akankah hukum tata ruang hanya tajam kebawah?
Oleh: Muhammad Joni [Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute]