Ayat Perumahan Rakyat [2]: Belajar dari Cheng Ho

TRANSINDONESIA.CO – Bertempat tinggal adalah takdir manusia. Karenanya manusia selain makhluk sosial dan makhluk ekonomi, juga makhluk bermukim. Rumah sebagai bentuk fisik tempat tinggal tak hanya atap, lantai dan dinding, namun perlu lingkungan yang sehat dan layak huni.

Sebagai kebutuhan dasar manusia, pangan, sandang dan papan, maka negara wajib hadir menyahuti itu.

Tulisan “Ayat Perumahan Rakyat” ini akan memuat 10 serial mengulas ikhwal alasan pentingnya perumahan rakyat.

Skala masalah perumahan rakyat yang luas dan kompleks tentu tak bisa diulas sempurna, namun 10 seri tulisan ini menyajikan sebagian dari kompleksitas isu perumahan rakyat. Ibarat undang-undang, seri tulisan ini hanya satu ayat saja “Ayat Perumahan Rakyat” yang diulas oleh penulis Muhammad Joni, secara lugas dan berani kepasa majelis pembaca TransIndonesia.co.

Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia, Muhammad Joni.[Ist]
Muhammad Joni.[Ist]
Belajar dari Cheng Ho

Rumah sebagai tempat tinggal mutlak tak terpisahkan dari kehidupan sosial manusia (social life of human being), bahkan semenjak manusia dicipta. Tersebutlah tiga serangkai kebutuhan dasar manusia: pangan, sandang dan papan.

Dalam kebudayaan manapun dan sejarah perkembangan peradaban manusia, bermukim dan membangun permukiman adalah bagian yang historis dari komunitas sosial.

Tilik-lah hikmah dari kisah berikut ini. Laksamana Cheng Ho  memimpin tujuh ekspedisi bahari terbesar dalam sejarah. Dari ‘kapal pusaka’  lima kali lebih besar dari kapal Columbus, Cheng Ho menaklukkan jagat bahari berbekal 27.000 anak buah kapal dan 307 (armada) kapal.

Tatkala menelusuri pantai utara Jawa, Wang Jinghong (orang kedua armada Cheng Ho) mendadak sakit. Wang  turun di pantai Simongan, Semarang.

Sepuluh hari kemudian, Cheng Ho melanjutkan perjalanan ke Tuban, meninggalkan 10 awak kapal mengawal Wang. Sembuh disitu, Wang dan anak buahnya membuka lahan dan membuat rumah. Mereka membangun hunian tempat tinggal (rumah). Jejak historis itu juga mewariskan navigasi takdir manusia sebagai “makhluk bermukim”.

Sepertinya tak terbantahkan bahwa sudah takdir manusia menempati ruang dan menghuni rumah. Maksudnya, selain makhluk sosial, manusia adalah “makhluk bermukim” yang  memiliki tempat menetap, dan  membutuhkan hunian layak untuk bermukim: rumah!

Mengisi ruang dan menghuni  rumah tempat menetap itu peradaban yang manusiawi dan logis.  Hal itu kemudian dikristalisasi sebagai norma hukum bahkan terangkat sebagai hukum dasar (ground norm) alias konstitusi.

Tepat jika ditiorisasi bahwa hukum itu memang sistem yang logis, dan hukum bertujuan memanusiakan manusia sebagai manusia, dan dibuat untuk manusia.

Maksudnya, hukum berfungsi memanusiakan manusia, bukan sekedar mencapai tujuan tetapi tujuannya mencapai  kebahagiaan yang  mencapainya harus pula dengan cara memuliakan manusia.

Kelop, jika bermukim atau hak bertempat tinggal itu menjadi hak konstitusi dan sekaligus  hak asasi manusia (HAM) dan hak dasar sekaligus. Kua konstitusi, hak bermukim bagi seluruh rakyat (for all) dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, karena itu bukan hanya hak yang melekat pada kelompok tertentu atau hanya  terbatas pada kelompok masyarakat berpanghasilan rendah (MBR).

Laksamana Cheng Ho.[Ist]
Laksamana Cheng Ho.[Ist]
Tidak sekadar kebutuhan dasar, rumah juga menjadi cerminan penghargaan atas harkat dan martabat manusia. Sejarah manusia terus berkembang, ihwal rumah pun demikian, tidak statis hanya sebagai kebutuhan dasar, namun dinamis dengan menggenapi aspek estetika, seni, tren, representasi dan fungsi, maka  rumah melejit berkembang menjadi komoditi, industri, dan masih diyakini sebagai cara melakukan investasi yang menarik.

Menariknya, memiliki rumah bukan hanya untuk memenuhi fungsi hak bermukim, fungsi pengakuan bersifat sosio-kultural, namun juga berkaitan dengan fungsi keekonomiannya, sebab “rumah sesungguhnya dapat dipandang sebagai unit dasar dari dunia ekonomi”.

Pertanyaan mendasar dan dilematis dalam merancang kebijakan dan regulasi yang memilik konsekwensi terkait kewajiban dan intervensi pemerintah, apakah rumah itu merupakan kebutuhan dasar atau investasi?

Namun demikian, pemenuhan rumah sebagai kebutuhan dasar tidak terlepas dari keragaman aspek penyediaan rumah. Untuk memenuhi kebutuhan dasar atas hunian atau hak bertempat tinggal, yang kemudian bertransformasi menjadi konsep “rumah” dalam UU Nomor 1 Tahun 2011,  maka tepat, logis dan valid jika Pemerintah bertindak aktif mengurusi kebutuhan rumah bagi rakyat, yang secara sadar menormakannya sebagai kewajiban Pemerintah dalam UU No. 1 Tahun 2011.

Tersebab kewajiban memenuhi rumah bagi MBR adalah Pemerintah. Dapat dikatakan,  tugas itu bukan kewajiban aktor non-pemerintah. Tersebab itu pula maka logis dan valid jika UU No. 1 Tahun 2011 (Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18) memberikan wewenang kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Jelaslah, bahwa hak bermukim bagi MBR mengandung anasir kepentingan publik yang wajib menghadirkan peran, tanggung jawab, wewenang dan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Artinya, memang sudah “takdir”  Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menyediakan hunian untuk seluruh rakyat  (for all) untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab memenuhi kebutuhan rumah bagi rakyat. Walaupun kewajiban itu dikurangi seakan-akan hanya untuk kelompok MBR semata.

Padahal kelompok MBR lebih beruntung dari kelompok warga miskin karena penghasilannya lebih rendah dari MBR, namun  menempati rumah yang tak layak huni atau di permukiman kumuh, atau warga yang justru tuna wisma (homeless).

Pun demikian, ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2011 itu merupakan  salah satu  ciri yang membedakan perumahan rakyat dengan perumahan komersial.

Argumentasi apa yang melatari betapa pentingnya perumahan rakyat (public housing)? Sehingga pemerintah pun membuat kementerian perumahan rakyat, dan mengurusi ikhtiar menyediakan rumah bagi rakyat menjadi norma wajib pada pemerintah.

Jika  menengok sejarah, ternyata semenjak zaman kolonial sampai sekarang, urusan perumahan rakyat menjadi portopolio pemerintah. Tahun 1926 didirikan Perushaan Pembangunan Perumahan Rakyat (N.V. Volkshuis-vesting) yang mengadakan rumah sewa bagi masyarakat.

Laksamana Cheng Ho.[Ist]
Laksamana Cheng Ho.[Ist]
Tahun 1950 dilaksanakan Kongres Perumahan Rakyat. Tahun 1951 tanggal 1 Januari dibentuk Jawatan Perumahan Rakyat dilingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga.

Tahun 1974 Pemerintah membentuk Perum Perumnas melalui PP Nomor 29 Tahun 1974. Tahun 1978 pemerintah membentuk Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat.

Selanjutnya sampai sekarang urusan perumahan rakyat masih ada, walaupun pernah melebur atau bergeser dan terakhir bergabung menjadi  Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Paragraf-paragraf di depan  memberi pandangan  kepada pembaca awam agar tidak tergopoh heran jika Pemerintah turut campur  dalam urusan perumahan rakyat dan karenanya  menyediakan APBN  termasuk  Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) bagi  kelompok MBR.

Sebelum kebijakan FLPP, malah Pemerintah era Presiden SBY-JK dengan Mohammad  Yusuf Asy’ari selaku Menteri Perumahan Rakyat  menyediakan skim Bantuan Uang Muka (BUM) dan Subsidi Selisih Bunga, selain insentif pajak bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Campur tangan Pemerintah untuk pembangunan perumahan rakyat dengan menyediakan anggaran dalam APBN masih belum memadai.

Misalnya dalam APBN Tahun 2013,  pos anggaran perumahan rakyat belum mencapai 0,75% dari total APBN yang dianggarkan pada Kementerian Perumahan Rakyat dan Kementerian Pekerjaan Umum. Alokasi anggaran itu dinilai tidak memadai menanggung program perumahan rakyat.

Pemerintah pun mengakui kekurangan anggaran APBN untuk perumahan rakyat. “Pemerintah hanya mampu  mengalokasikan sekitar 0,1 persen dari produk domestik brutonya untuk sektor perumahan.  Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan Filipina sekitar 0,31 persen,” ungkap  Maurin Sitorus, Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan  Perumahan Rakyat kepada media.

Alokasi itu sangat jauh dibandingkan  dengan  negara Asia lainnya seperti Thailand mengalokasikan 2,21 persen untuk sektor perumahan.

Namun fiskalisasi anggaran perumahan rakyat dalam APBN mesti diperbesar, karea melaksanakan kewajiban konstitusional Negara atas Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Tak elok konstitusional jika tergopoh membuat aturan yang  menarik dana masyarakat, dan setarikan nafas mengurangi anggaran  perumahan rakyat dalam APBN.

Oleh: Muhammad Joni [Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute]

Share