Ayat Perumahan Rakyat: Sepenggal Sketsa Cikini di Tapal Magrib (1)

TRANSINDONESIA.CO – Bertempat tinggal adalah takdir manusia. Karenanya manusia selain makhluk sosial dan makhluk ekonomi, juga makhluk bermukim. Rumah sebagai bentuk fisik tempat tinggal tak hanya atap, lantai dan dinding, namun perlu lingkungan yang sehat dan layak huni.

Sebagai kebutuhan dasar manusia, pangan, sandang dan papan, maka negara wajib hadir menyahuti itu. Tulisan “Ayat Perumahan Rakyat” ini akan memuat 10 serial mengulas ikhwal alasan pentingnya perumahan rakyat.

Skala masalah perumahan rakyat yang luas dan kompleks tentu tak bisa diulas sempurna, namun 10 seri tulisan ini menyajikan sebagian dari kompleksitas isu perumahan rakyat. Ibarat undang-undang, seri tulisan ini hanya satu ayat saja “Ayat Perumahan Rakyat” yang diulas oleh penulis Muhammad Joni, secara lugas dan berani kepasa majelis pembaca TransIndonesia.co.

Muhammad Joni.[Ist]
Muhammad Joni.[Ist]
Inilah sepenggal sketsa Cikini di tapal magrib: 

“Suaranya tinggi, lajunya rendah. Gelombang penunggang bermesin nyaris berhenti. Aungan deru bising  kemacetan seakan abadi tak hendak pergi. Kaum komuter bergegas-gegas. Tangkas turun-naikkan pedal gas. Pasrah berjemaah ke arah rumah. Kilau setakat magrib itu memerah.  Memantik tenaga hidupkan gairah. Pulang menemui mak Mirah”.

Mengapa ibukota Jakarta acap kali dilanda macet stadium akut, utamanya pagi dan arus balik sore ke malam hari? Sebabnya bukan hanya pertumbuhan kenderaan bermotor dan rendahnya daya salur badan jalan. Namun, karena penunggang mobil, pemacu motor, penumpang bis kota, pun demikian pemanfaat jalan lain dari dalam dan keluar Jakarta, ingin segera pulang ke rumah. Ya, rumah!

Pulang ke rumah sudah lazim dan fakta yang tak perlu dibuktikan lagi (notoir feit) bahwa  menetap dan menempati rumah adalah kodrat manusia. Maksudnya, manusia cenderung menetap dan bertempat tinggal di rumah, sebagai tempat tujuan kembali pulang kepada keluarga dan menemukan ketenangan (al maskanah).

Sebagian besar mereka rela menjadi  kaum komuter untuk mengatasi kesenjangan antara ketersediaan rumah dan lokasi tempat bekerja kaum komuter. Seakan tersaring dari pusat kota.

Salah satu sebab “saringan” nya adalah harga tanah yang mahal untuk perumahan rakyat, terus menerus naik yang untuk kawasan kota Jakarta dan sekitarnya  laju naiknya bisa mencapai sekitar 37% per tahun.

Tersebabkan faktor mahalnya harga tanah itu, maka penyediaan rumah umum teruntuk kelompok masyarakat berpanghasilan rendah (MBR) itu acap didalilkan tidak mungkin disediakan atau membangun rumah umum dikawasan tempat bekerja yang acap terletak di kawasan utama. “Harga tanah di Jakarta itu sudah sangat tinggi. Mau bangun rumah murah juga mau berapa harganya?”, demikian pandangan Direktur  Utama Perum Perumnas kepada koran Medan Bisnis.

Selagi hunian tempat tinggal alias rumah bertumpu di tanah, maka tanah menjadi ihwal terpenting dalam perumahan rakyat. Namun, de facto, tanah mahal dan terjerembab ke dalam mekanisme pasar yang gagal. Khususnya di perkotaan dan kawasan komersial, harga tanah melambung.

Kapitalisasi nilai tanah melampaui rasionalitas hukum penawaran permintaan. Ada spekulasi dan “gorengan” harga yang nir-etis. Akibatnya, eskalasi harga rumah rakyat dan rumah komersial tidak terkontrol.

Kegagalan pasar tanah ini tersebab persaingan yang tidak sempurna sehingga inefisiensi pasar tanah.

Sulitnya memperoleh tanah yang murah untuk penyediaan perumahan rakyat yakni rumah umum untuk kelompok MBR, diakui sebagai hambatan oleh pelaku pembangunan dan hal itupun dimaklumi oleh Pemerintah.

Ilustrasi rumah rakyat.
Ilustrasi rumah rakyat.

Musabab Tanah

Setakat menelisik dokumen “Rancangan Skenario Pembangunan PKP Tahun 2015-2019” yang diterbitkan Kementerian Perumahan Rakyat Pemerintah sudah mengidentifikasi 3 (tiga) persoalan pelik dalam hal ikhwal penyediaan tanah.

Pertama: keterbatasan dan mahalnya harga lahan menyebabkan harga rumah makin tak terjangkau bagi MBR.

Kedua: pembangunan rumah bagi MBR yang sesuai dengan batas harga pemerintah berlokasi jauh dari perkotaan dan tempat kerja.

Ketiga: belum ada intervensi pemerintah untuk penyediaan tanah bagi pembangunan perumahan dan mengendalikan harga lahan.

Dari telisik itu, diperoleh kata kunci: keterbatasan, harga mahal, lokasi,  belum ada intervensi Pemerintah. Patutkah Pemerintah abai pada kata kunci itu?  Bagaimana cara mengatasinya?

Sejalan itu, cermatilah pendapat Parwoto, pakar perumahan rakyat yang pegiat pembangunan berbasis komunitas bahwasanya  untuk penyediaan perumahan rakyat bagi kelompok MBR menghendaki hadirnya intervensi Pemerintah.

Alasan klasik harga tanah yang tinggi sehingga tidak sesuai untuk perumahan rakyat kecil, Pemerintah tanpa menyadari sudah “tunduk kepada pasar” dan terhambat paradigma bahwa masyarakat berpenghasian rendah tidak menjadi prioritas target pembangunan (invisibe target grup).

Pada bagian lain, Parwoto berpendapat Pemerintah harus mematok harga tanah untuk rumah dengan luas lahan tertentu, misalnya 45 meter persegi dan 90 meter persegi. “Harus ada lokasi di tiap kota yang harga tanah dan bangunannya dikendalikan ketat,” ulas Parwoto di majalah HUDMagz Edisi 5 Tahun 2015.

Mahalnya harga tanah yang berlanjut dengan sketsa sosial ikhwal panjangnya waktu yang dihabiskan untuk perjalanan kaum komuter menelusuri rute pulang pergi dari rumah ke tempat kerja, seakan telah terjadinya “penyaringan terhadap siapa yang dapat tinggal di kota”.

Keadaan itu juga fakta yang menjelaskan  betapa hal ikhwal penyediaan rumah dan mengatasi defisit rumah alias backlog bagi kelompok MBR, bukan hanya sekadar menggiatkan industri yang membangun fisik rumah umum semata. Namun, bersintuhan dengan intervensi Pemerintah berupa regulasi dan kebijakan tata ruang, penyediaan tanah, infra struktur dasar, pembiayaan, dan bangunan  rumah itu sendiri.

Untuk penyediaan tanah mesti disediakan bank tanah (land bank) untuk perumahan rakyat.  Untuk maksud itu,  merujuk Bernard Limbong, Bank Tanah  bisa dikemas menjalankan fungsi  penghimpun tanah (land keeper), pengaman tanah (land warantee), pengendali penguasaan tanah (land purchaser), pengelola tanah (land management), penilai tanah (land appraisal), penyalur tanah (land distributor), dan tentunya pengendali harga tanah.

Bahkan diberikan hak prioritas membeli tanah (preemption rights) seperti di Prancis. Preemtion rights itu juga diamini Parwoto, pakar perumahan komunitas.

Akan tetapi, perihal konsep bank tanah yang disiapkan Pemerintah belum pasti apakah spesifik untuk perumahan rakyat?

Oleh: Muhammad Joni [Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute]

 

Share