Saatnya Pemilih Pemula 16 Tahun

TRANSINDONESIA.CO – Anak saya Haikal  pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jakarta. Saat usia 16 tahun sudah menjalankan demokrasi di sekolahnya. Putri seorang sahabat di Bekasi yang pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP), sebut saja Ami (14), sudah terampil berorasi dan kampanye dari kelas ke kelas dalam ajang pemilihan ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Itu bukti, anak zaman sekarang sudah biasa melakoni  demokrasi sehat.

Tak terasa, dua tahun  kita akan memasuki tahun politik lagi. Pemilihan Umum (pemilu) langsung lagi. Untuk siapakah demokrasi  langsung itu? Pertanyaan turunannya, usia berapa yang pas dan otentik sebagai pemilih?

Masih tepatkah jika Negara memberikan hak memilih dalam pemilu bagi orang muda ketika  usia 17 tahun?  Tulisan ini hendak membongkar dalil lama bahwa  usia pemilih mulai 17 tahun.

Kua normatif, berdasarkan  UU pemilihan Presiden (Pilpres) dan UU Pemilu mematok batas usia pemilih 17 tahun atau sudah/pernah menikah. Masihkah tepat mematok usia 17 tahun batas usia memilih hak memilih (right to vote)? Apa sih dasar penentuan usia dalam hukum?

Bukankah memberikan suara (memilih) adalah perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum, dan tentunya tanggungjawab hukum.

Aldo Meyolla Geraldino, 14 tahun Kuliah di UGM.[Ist]
Aldo Meyolla Geraldino, 14 tahun Kuliah di UGM.[Ist]
Kecakapan Hukum

Mari kita periksa dengan pendekatan kecakapan melakukan perbuatan hukum dan tanggungjawab hukum.

Sekarang, anak usia 12 tahun dapat disidik oleh otoritas negara. Anak usia 14 tahun bisa dilakukan penahanan jika terbukti melakukan tindak pidana (UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradian Pidana Anak). Keduanya adalah  tanggungjawab pidana (criminal liability)  kepada  Negara.

Lain lagi ihwal kualifikasi orang “sudah/pernah menikah” yang  agak menyimpang dari tema right to vote yang merupakan rezim hak politik alias hukum publik. Sedangkan kualitas dan perbuatan “sudah/pernah menikah” masuk rezim hukum perdata.

Karena itu, dibukanya  suatu opsi tambahan “sudah/pernah menikah” untuk dianggap dewasa politik atau mempunyai hak memilih adalah pikiran keliru yang mencampuraduk ‘anugerah’ konstitusi atas hak politik  warga negara dengan urusan perbuatan perdata.

Lantas bagaimana jika anak usia 12 tahun sudah menikah? Diakuikah  elokkah dinaikkan hak politik orang dalam pernikahan bawah umur dan tak dicatatkan alias nikah siri yang dilarang Undang-undang (UU)?  Akankah hak politiknya diakui sebagai pemilih?

Sulit mencari pembenaran  mengapa warga sudah/pernah kawin yang merupakan perbuatan perdata, lantas ditingkatkan hak politiknya sebagai pemilih. Perlakuan ini merupakan pembedaan atas kelompok warga usia belum 17 tahun (katakanlah 16 tahun) yang karena kesadaran positifnya menunda pernikahan.

Perlakuan berbeda ini sama saja dengan membiarkan adanya diskriminasi norma UU Pilpres dalam demokrasi di negeri ini. Diskriminasi atas suatu kelompok suatu hal yang inskonstitusional dalam landmark decitions putusan Mahkamah Konstitusi yang mengembalikan   hak pilih keluarga bekas anggota organisasi terlarang PKI dan organisasi massanya, sebagaimana putusan MK Nomor 011-017/PUU-I/2003 terkait pengujian UU Pemilihan Umum.

Di Swedia, tahun 1996 ‘Commission on Age Limits’  menyusun proposal menurunkan usia memilih.  Hak memilih warga diturunkan menjadi 16 tahun. Alasannya? “…for a broader democratic base with allows as many resident as possible to participate in decition making”. Gerakan itu dikenal sebagai Politik untuk orang muda, atau “Politik for Unga”, dalam bahasa Swedish.

Menurunkan batas usia pemilih mempunyai hak politik (rights to vote) bukan tanpa rujukan. Sebelumnya di Jerman, otoritas di negeri itu membuat terobosan politik menarik.  Warga Jerman yang berusia 16 tahun dibolehkan untuk memberikan suaranya di pemilu negara bagian. Pemerintah kota Bremen menurunkan usia pemilih karena ingin menarik minat kalangan muda terhadap politik.

Diwartakan, tahun 2012 lalu  Argentina  menyetujui undang-undang yang  menurunkan usia pemilih menjadi 16 tahun. Walau langkah itu dituding   sebagai langkah yang  memperkuat blok populis Presiden Cristina Kirchner menjelang pemilu legislatif tahun depan. Dewan Deputi menyetujui aturan baru  yang  yang disponsori  mantan kepala staf Kirchner dan telah disetujui Senat, dengan suara mayoritas. Sejumlah  131 suara setuju dibandingkan dengan dua suara yang menentang dan satu abstain (http://id.berita.yahoo.com/argentina-turunkan-batas-usia-pemilih-wajib-103803180.html).

Lapis Baru Demokrasi

Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) menggagas ulang menurunkan batas usia pemilih menjadi 16 tahun.  Alasannya? Untuk menyegarkan demokrasi yang sumpek dan memperluas kesempatan orang muda dalam partisipasi politik, walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk mempermuda lapisan generasi politisi Indonesia.

Alasan lain, pembedaan antara “sudah/pernah kawin” dengan belum adalah norma yang diskriminatif. Diskriminasi adalah musuh dunia, karena azas nondiskriminasi diakui asas universal dalam instrumen HAM internasional. Diskriminasi kelompok dengan perlakuan berbeda kepada yang “sudah/pernah kawin” tidak beralasan dalam rezim hak politik.

Di Indonesia, usul itu saya gelindingkan tahun 2003 tatkala menjadi komisioner Komnas Perlindungan Anak.  Saat itu, didengungkan 5 (lima) alasan menurunkan usia pemilih menjadi 16 tahun.

Pertama,  untuk memperluas demokratisasi dengan memberi kesempatan anak usia 16 tahun menggunakan hak pilihnya.

Kedua, mengapresiasi sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung yang  diterapkan sejak  Pemilu 2004.

Ketiga, jumlah mereka yang tergolong anak (usia 16 sampai 18 tahun) sangat signifikan, bisa jadi setara dengan 40 kursi di Dewan.

Keempat, banyak permasalahan anak yang bisa diangkat pada agenda politik yang lebih besar.

Kelima, alasan normatif karena UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah melarang pemanfaatan anak-anak untuk kepentingan politik (http://www.tempo.co/read/news/2003/01/21/0551450/Usia-Pemilih-Diusulkan-Turun-Menjadi-Mulai-16-Tahun).

Alasan lain? Di Indonesia, kelompok orang muda sudah didorong untuk berpartisipasi dalam bidang sosial politik dengan membuka saluran aspirasi dan minat dalam wadah organisasi kepemudaan. Menurut UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, kelompok pemuda adalah dalam rentang usia 16 sampai 30 tahun.

Menurut Pasal 17 ayat (3) UU Kepemudaan, peran aktif pemuda sebagai agen perubahan  diwujudkan antara lain dengan mengembangkan pendidikan politik dan demokratisasi dan kepedulian terhadap masyarakat. Kedua peran pemuda itu idemditto dengan peran sosial politik.  Karena itu, UU Kepemudaan sudah membuka peluang peran pemuda dalam partisipasi sosial politik dan menumbuh kembangkan demokrasi.

Lain usia pemuda dengan usia pemilih hak pilih. Berbeda  pula batas usia  anak, yang berbeda dengan batas usia perkawinan. Berbagai perbuatan hukum dipatok usia berbeda, seperti hak  konsultasi hukum dan medis tanpa izin orangtua (legal or medical councelling without parental concent),  batas pekerjaan  berbahaya (hazardous employment),  pekerjaan  paruh waktu  (part-time employment),  pekerjaan  purna  waktu   (full time employment).

Demikian pula perbuatan  sukarela masuk  angkatan bersenjata (voluntary enlistment into the armed forces),  sukarela menjadi saksi di pengadilan (voluntarily giving testimony in court),  usia  tanggung-jawab kriminal (criminal liability), perampasan kemerdekaan (deprivation of liberty), penjatuhan hukuman, dan penggunaan  rokok atau minuman beralkohol.

Sekarang ini pertumbuhan fisik dan mental anak usia 16 tahun sudah lebih matang dari generasi  sebelumnya. Tak sedikit anak cerdas atau peserta program kelas akselerasi yang masih 15 tahun atau 16 tahun yang sudah menjadi mahasiswa. Malahan, tahun 2015 lalu  Aldo Meyolla Geraldino menjadi mahasiswa  Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) pada usia  14 tahun, dan Kevin Arya Bagus (14 tahun) masuk Fakultas Teknik Sipil di kampus yang sama.

Lantas, beralasan jika  jika diusung gagasan dan langkah konstitusional menurunkan usia pemilih menjadi 16 tahun.

Dengan jalan dan upaya yang konstitusional, maka batas usia pemilih dalam UU Pilpres dan UU lainnya, perlu diuji kesahihannya, baik secara yuridis formil, yuridis konstitusional maupun sosioligis dan akademis.

Tentu  tak abai membandingkan dengan langkah maju yang dilakukan negara-negara lain  seperti Swedia, Jerman, Argentina.  Maksudnya tunggal, untuk membuat demokrasi menjadi segar dan bugar dengan lapisan genarasi pemilih yang lebih muda.

Pemilih pemula 16 tahun menjadi suara sinifikan dan segar yang menyegarkan sumpeknya demokrasi.

Oleh: Muhammad Joni [Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia-MKI]

 

 

 

Share
Leave a comment