Murah Bukan Murahan

TRANSINDONESIA.CO – “Murah…murah….murah, murah….,” teriakan pedagang souvenir di Bangkok, Korea, Jepang bahkan dibawah menara Eifel pun meneriakan hal yang sama.

Mereka tahu kalau turis-turis dari Indonesia senang berbelanja dan yang dicari yang murah. Murah harganya bisa saja menjda imahal tatkala tidak ada guna dan fungsinya, atau cepat rusak.

Murah merupakan cara berhemat. Harapannya adalah sebagai efisiensi penggunaan sumberdaya. Kata murah bisa diikuti dengan obral, sale, discount, by one get one, three in one, dan lainnya. Promosi murah mencandui dan bisa jada tidak berhemat malahan membeli sesuatu yang tidak perlu.

Ilustrasi
Ilustrasi

Murah-murah bisa dikaitkan dengan murahan. Sebagai barang afkiran, barang yang antara sudah tidak layak pakai dan sayang bila dibuang.

Bisa juga bagian dari cuci gudang yang akan digantikan dengan produk baru dan menghabiskan produk lama.

Murahan sendiri bisa dimaknai sebagai sesuatu yang berkelas rendah, kelas yang umum tidak ada spesifikasi atau tidak memiliki keunggulan atau tidak memiliki nilai lebih.

Murahan sudah tentu dihargai dengan murah. Ketika murah harganya menunjukan kelas dan  kualitas yang rendah. Murahan bisa juga dikategorikan sebagai kelas loakan atau barang-barang bekas pakai (second hand).

Barang second memang kelas murah bahkan murahan ketika tidak dikemas dan dimaknai dengan seni, budaya atau nilai-nilai lain. Bekas digunakan orang-orang yang menjadi ikon akan mengangkat kualitas dari harga yang murah menjadi bermakna dan tidak murahan.

Inilah nilai pentingnya dari yang murah namun tetapi memiliki nilai seni, budaya dan tidak murahan. Walaupun murah dari barang bekas sekalipun, tatkala bisa memaknai dan mengemasnya, maka yang murah akan memiliki makna yang bukan murahan.

Boleh suka terhadap yang murah-murah asal tidak hanyut menjadi murahan. [CDL-28022016]

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share