Sejahtera Alasan Bernegara
TRANSINDONESIA.CO – Mengamati situasi politik dan peekonomian untuk kesejahteraan masyarakat, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Muhammad Joni, mengulas tajam namun sangat gamblang dipahami.
Bagaimana tidak, ulasan politik gaduh yang tak berkesudahan merefleksikan tergooh-gopohnya pemimpin membuat dan memutuskan suatu kebijakan yang tidak pro rakyat.
Akibatnya mulai harga jengkol, tempe, tariff tol, angkutan, listrik sampai harga rumah rakyat yang digadang-gadang sebagai program sejuta rumah justru semakin jauh dari jangkauan rakyat.
Berikut tulisan dengan judul “Sejahtera Alasan Bernegara” dibagi menjadi tiga bagian yakni, “Sejahtera Alasan Bernegara”, “Relasi Tidak Senonoh”, dan “Daulat Kesejahteraan Rakyat”.
“Sejahtera Alasan Bernegara”:
Anda belum punya rumah? Bisa jadi anda bagian dari 13,6 juta defisit rumah (backlog). Jika produksi rumah rata-rata 200 ribu unit per tahun, dengan abaikan pertumbuhan alias 0%, butuh waktu 68 tahun untuk memenuhi rumah rakyat bawah.
Padahal manusia makhluk bermukim, selain makhluk sosial dan makhluk ekonomi. Akankah program sejuta rumah bisa super tangguh mengatasi itu? Penulis: “mutlak, kehadiran total intervensi Negara”.
Tiap tahun saat bulan puasa, harga daging membubung. Padahal Ramadhan hanya sebulan dalam setahun. Pun-demikian idemditto dengan nasib bawang, jengkol, tarif angkutan, dan entah apa lagi, yang pernah dibahas sampai ke sidang kabinet.
Pernah kaum pedagang tempe unjuk rasa, karena kedelai tak terjangkau harga. Pernah kaum ibu rumah tangga berorasi di hadapan istana, karena harga menjulang tak dinyana.
Seperti tak kuasa kepada harga dan bertekuk takluk kepada pasar, sebilangan pejabat negara mengambil jalan sederhana: mengusulkan naik harga.
Menaikkan tarif listrik, jalan tol, parkir, bahkan harga rumah rakyat untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Alasannya tunggal: penyesuaian pasar. Tunduk kepada pasar.
Majelis Pembaca, tidakkah kita merasa aneh akan hal itu? Seandainya mengetahui alasan mengapa kita membentuk negara? Bersatu kita sejahtera, berpisah kita merana. Itu kira-kira alasan sederhana mengapa membuat negara.
Pemikiran itu serius, walau dimulai dengan kisah bawang dan jengkol. Itu bertemali dengan demokrasi politik yang tak patut dilepaskaitkan dengan demokrasi ekonomi.
Berdaulatnya rakyat di bidang ekonomi, memang mudah diucapkan namun kerapkali tak kentara dalam kebijakan. Akibatnya, dilapangan rakyat tak menemukan kesejahteraan.
Bisa jadi itu akibat sejarah yang salah arah. Memisahkan urusan ekonomi sebagai urusan rakyat secara sendiri-sendiri. Literatur klasik menukilkan Raja hanya mengurusi dan berdaulat atas kekuasan politik saja.
Tersadar oleh sejarah betapa naif memisahkan konsep “Imperium” versus “Dominium” secara diametral.
Maksudnya? “Imperium” adalah konsep mengenai “rule over all individuals by the prince”. “Dominium” adalah konsep mengenai “rule over things by individuals”. [Baron de Montesquieu, L’Esprit dos, dalam Morris R. Cohen, Law and Social Order: Essays In Legal Philosophy, dalam Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika,Jakarta, 2011, hal.121-123].
Menurut Montesquieu, politik dan ekonomi terpisah tegas. Katanya, dengan hukum publik (political law) kita memperoleh kebebasan, dengan hukum perdata kita memperoleh hak milik (property). Akibatnya, pemisahan kekuasan dengan kesejahteraan. Rakyat dipahami hanya berdaulat dalam bidang politik.
Oleh: Muhammad Joni [Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia-MKI]