Penyakit Birokrat: 1000 Alasan Menolak Maju, Berpikir Level Dengkul

TRANSINDONESIA.CO – Adanya reformasi birokrasi, revolusi mental, pelayanan prima, quick win, centre of excellence, menuju world class organization, maupun programprogram lainnya yang mendorong birokrasi menjadi professional sebenarnya menunjukan bahwa birokrasi yang ada adalah birokrasi yang saki tidak rasional.

Slogan, jargon maupun kata-kata sakti dipampangkan dari keimanan sampai dengan komitmen moral, sering kali justru jadi bahan plesetan dan untuk kepentingan seremonial atau supervisial saja.

Sebagai contoh apa yang dicanangkan sering kali hanya copas dari pimpinannya saja tanpa paham maknanya.

Tatkala diajak berpikir dengan logika selalu saja menelak yang inilah, itulah, dari yang ketinggian, teori-teori, sampai pokoknya kerja semua menunjukan betapa lemah karakternya.

Ilustrasi
Ilustrasi

Bagi sang pemimpin selalu berdalih, “Kalau saya mikir siapa yang mimpin?”. Padahal kalau dilihat dari nama jabatanya sebagai kepala…., sebenarnya menunjukan sebagai pemikir juga.

Karena pemikiran itu dari otak dan otaknya di kepala. Namun apa nyatanya pemikiran-pemikiran selalu dilakukan pada level bawah bahkan surat sakti (disposisi) cukup ditulis, penuhi, kerjakan, kalau selesai segara lapor. Yang parahnya lagi adalah hanya sebagai selang saja “Sesuaikan dengan disposisi ka (kepala maksudnya)”.

Disposisi ini akan terus bergulir ke bawah sampai mentok disitulah baru berfikir. Dan kembali diajukan berjenjang ke atas.

Sebenarnya kepala bukan kreator tetapi korektor, bahkan yang parah lagi hanya sebagai belang dan stempel cap saja. Ini bertahun-tahun dan terus menerus menjadi habit, rapat, diskusi, sampai seminar dikerjakan, ya lagi-lagi semua hanya untuk level dengkul, jadi susah majunya dan terus saja akan diwariskan cara-cara beralasan untuk enggan melakukan perubahan.

Tatkala level dengkul yang terus berpikir, jangankan unggul, waras saja sudah bagus. Sadar atau tidak semua yang dilakukan akan menanamkan pendekatan-pendekatan personal, dan mengabaikan kompetensi.

Sehingga pokoknya kerja dan mengabaikan tugas pokok, kalau dianalogikan sebagai dokter, resep-resep yang dibuatnya tidak manjur bahkan bisa menjadi malpraktek.[CDL-26022016]

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share