Saipul Jamil dan Aib: Belajar Bersikap Arif
TRANSINDONESIA.CO – Semua orang punya aib. Ada aib mata, aib tangan, kaki, telinga, hati, dan banyak aib lagi.
Bedanya ada aib yang masih ditutupi Allah, ada yang ditundanya sampai hari akhir, dan ada yang disegerakan Allah (membuka aibnya).
Saipul Jamil hanya salah satu contoh. Tapi apakah abang, adik, anda, dan kita semua, berbeda dengan Saipul Jamil ? Upstt … tunggu dulu.
Hemat saya tidak! Kalaupun mau dibilang beda, hanya dari kualitas dan kuantitas aib masing-masing kita.
Sebab, kriterium masing-masing orang berbeda, apakah ia dinilai telah melakukan aib atau tidak. Prinsip dasarnya, semakin tinggi “maqam” agamanya semakin “halus” lah kriteria aibnya.
Dengan begitu -bisa jadi- apa yang dinilai wajar bagi orang lain, sudah merupakan aib yang besar jika dilakukan, misalnya, oleh seorang pemuka agama.
Betapapun, dalam soal Saipul Jamil- kita harus berlaku bijak. Kita pasti membenci kejadian itu. Kitapun boleh berkomentar. Tapi berkomentarlah secara proporsional.
Apalagi, biar bagaimanapun dia adalah saudara kita yang harus tetap dijaga kehormatannya. Kalau dia bisa khilaf, abang, adik, anda, dan kita semuapun punya kemungkinan yang sama.
Anda pernah membaca kisah Syech Barsishah?, dia adalah seorang hamba Allah yang taat tapi dipenghujung hidupnya mati dalam keadaan fasiq.
Dari kisah ini, kita bisa menarik hikmah bahwa kita tidak boleh merasa hebat dengan ketaatan kita, sebagaimana kita tidak boleh menghina orang lain yang saat ini bergelimang dosa. Sebab di penghujung jalan yang lurus -boleh jadi- ada simpang jalan yang membuat kita berbelok arah.
Walhasil, inilah agaknya kandungan makna kalimat hauqolah “laa haula walaa quwwata illaa billaah”, tidak ada daya untuk melakukan perbuatan baik dan tidak ada kekuatan untuk menolak berbuat kejahatan selain atas izin dan kehendak Allah.
Fa’tabiruu yaa ulil albaab (bisa dibaca dalam kitab Durratun Nashihin).
Penulis: Ahsanul Fuad [Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara-Pengurus Masyarakat Ekonomi Syariah Kota Medan]