Berpikir Kritis Menuju Kekuatan Nalar dan Akal Sehat
TRANSINDONESIA.CO – Sejak kecil kita tanpa sadar sudah dicandui yang namanya dipuji, diterima, diagung-agungkan, di dukung hingga melemahkan daya nalar dan akal sehat.
Hal ini ditunjukan pada birokrasi patrimonial sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali, semua serba manut sabdo pandito ratu.
Kalaupun ada yang sedikit kritis, diancam atau dipindah jabatannya terus cep klakep bagai orong-orang dikrudung bathok. Tanpa sadar ketika ada yang bernalar, maka apa yang diucapkan, “seperti paling bener sendiri, orang bisanya ngomel atau marah, terus ngritik melulu, pikirannya negatif-mbok ya o melihat kondisi wong faktanya memang susah jadi jangan dikritik”.
Itu beberapa omongan para cantrik pro status quo dan kroni comfort zone. Wajar saja mereka berpendapat demikian karena mereka benar-benar nunut urip untuk itu harus menjadi safety player.
Karakter dan integritasnya sama sekali tidak muncul dan menggadaikan harga diri demi jabatan dan kekuasaan.
Bagi ndoro yang otoriter dn model feodal akan segera tersengat dan keluar tanduk dan perkataan “pokok e”, “saya dulu”, “lihat saja nanti …”, dari mimik yang merefleksikan ketidak sukaan dan kedongkolan atas kritik hingga show of force untuk membungkam dipertontonkan.
Pada nalar yang waras dan akal sehat yang kuat apa yang dilakukan kaum ndolop dan pengolor adalah refleksi kepecundangan mereka.
Ini suatu bom waktu yang akan meledak kapan saja, karena menjadi pembusukan. Kritik adalah kepekaan, kepedulian, kecintaan dan kebanggaan untuk berani bernalar menjadi sehat waras-wiris lepas dari kegilaan.(CDL-Jkt271215)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana