TRANSINDONESIA.CO – Mencuci bertujuan membersihkan atau menghilangkan kotoran dari sesuatu termasuk najis yang melekat. Mencuci otak membersihkan otak dari yang jahat menjadi baik. Begitulah semestinya mencuci dari yang kotor menjadi bersih.
Namun, sekarang ini cuci otak dianalogikan untuk penghilangan atau pelemahan daya nalar dengan sesuatu yang semu dan supranatural untuk mencapai atau menggapai harapan-harapan yang masih dalam angan-angan.
Harapan menjadi bagian dari hidup dan kehidupan manusia untuk bertahan hidup tumbu dan berkembang. Peradaban manusia dibangun dengan menyadarkan melalui pemberdayaan daya nalar dan harapan.
Sebaliknya penyadaran bisa dimanipulasi yang disalah artikan atau disesatkan dengan maksud tujuan dan kepentingan tertentu.

Mencuci otak menggeser atau merubah pengetahuan, keyakikan yang dimiliki dan dijadikan pedoman dan acuan dalam melaksanakan hidup dan kehidupan sehari-hari atau yang sudah menjadi habitusnya.
Pencucian otak bisa saja dipahami sebagai pembentukan habitus baru. Pada proses-proses pencucian otak bagi kelompok dan golongan yang berseberangan atau berbeda dengan apa yang diyakini oleh orang kebanyakan sering dikatakan sesuatu yang ekstrim atau radikal.
Keyakinan dan pemahaman baru yang ditanamkan bisa merontokan nalar dan akal sehat dengan nalar-nalar dangkal sempit penuh dengan mistis atau bahkan dengan dogma-dogma yang dimanipulasi. Nalar dan akal sehat bisa saja diabaikan mengikuti keyakinan baru yang dianggapnya paling benar dan paling menjanjikan.
Pembenaran yang dilakukanya dalam keyakinan yang subyektif dan dangkal menjadikan pemikiranya sebatas pada pola benar/salah, baik/buruk, suci/dosa.
Tatkala pada konteks keimanan dan merasa paling benar, baik, suci bisa menyalahkan orang lain yang tidak sepaham sebagai yang salah, buruk dan dosa.
Mempertentangkan suci dan dosa akan membawa kepada masalah-masalah keyakinan yang suci milik Tuhan dan dosa milik setan.
Pembedaan dengan membanding-bandingkan apalagi dibumbui dengan kecaman-kecaman daya nalar dan kemanusiaan bisa saja lenyap. Rasa kemanusiaan tidak diperhitungkan lagi demi menegakkan dan memaksakan keyakinan yang diyakininya. (CDL-Jkt241215)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana