Jual Beli SIM Gampangkan Nayawa

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Berbicara tentang keselamatan, maka banyak yang komplain dan protes melihat angka kematian maupun cacat akibat kecelakaan lalu lintas. Namun sebaliknya ketika saat ditempat penerbitan SIM (Surat Izin Mengemudi) maunya cepat-cepat dan tanpa peduli apa akan menjadi jagal atau dijagal di jalan raya.

Lupa kalau berkendara di jalan raya bisa menjadi korban dan bs mengorbankan orang lain. Lupa tatkala ia dipermainkan sistem penerbitan SIM yang seperti berjualan dan diperdagangkan.

SIM itu ujian bukan dimohon, bagi pejabat dan pemangku kepentingan sering tidak menyadari kalau mati, cacat, orang menjadi tanggung jawabnya.

Mereka hanya bangga karena dipercaya ndoro dan dijadikan simbol kekuasaan dan penguasaan untuk memperjual belikan dagangannya.

Pendidikan keselamatan dilihat sebelah mata, malahan ia ingin juga menjarahnya. Kalau berpikir waras siapa ya yang membuat gila dalam sistem keselamatan? Bagaimana mewaraskan para ndoro-ndoro pemangku kepentingan ini untuk mau peka dan peduli akan keselamatan?

Selama penerbitan SIM hanya seremonial, main-main, maka pendidikan keselamatan tidak akan laku dan akan dicibir karena mereka beranggapan “beli saja bisa mengapa harus ujian”.

Tatkala label beli ini menjadi kebanggaan para ndoro-ndoro kampret yang terbalik-balik cara berpikirnya, maka cepat atau lambat ia akan dituntut pertanggung jawaban atas mati dan celakanya orang di jalan raya. Namun, tatkala ia mulai waras dan sadar maka ia akan mulai membangun keselamatan dari sistem edukasinya.

Apa pertanyaan pertama, saat orang mengurus SIM? Berapa harga SIM?

SIM dianalogikan sebagai barang dagangan yang dipasarkan dan diperjual belikan. Belum lagi kalau tempatnya kumuh semrawut dan banyak calonya.

Baru datang saja sudah disambut rayuan broker sana-sini untuk mengurus atas suruhan ndoro kecilnya. Tak jarang disana-sini loket bagai tempat arena pembelian karcis.

Sistem SIM memang sarat dengan formalitas dan seemonial saja. Sayang memang tatkala pemahamanya saja masih berbeda-beda.

Tak jarang ndoronya malah memerintahkan berjualan dan menjadikan ladang pengaritannya. Ini sudah berkali-kali digrebeg, diperiksa bahkan dipindah tugaskan jabatannya namun, tetap saja akan begitu lagi.

Saat digrebeg semua tiarap, tolah-toleh, kanan-kiri dan depan-belakang. Aman kanan, aman kiri, aman atas, aman samping, aman bawah buka lagi demikian seterusnya.

Ada yang aneh bin ajaib, entah sadar entah disengaja atau entah apa yang dipikirkan tatkala dicoba meluruskan SIM bukan dimohon tetapi ujian. Dimana ujian ada standaar kompetensi dan standar kompetensi diajarkan. Berarti memang harus ada lembaga atau pendidikan keselamatan.

Tatkala mulai dirintis menjadi waras, namun esok SIM kembali diperdagangkan, dan begitu seterusnya.

Pengemudi bus dan truk rata-rata mereka bekas kernet dan belajr secara otodidak tanpa harus belajar akan safety. Diberi kekuasaan membawa aset perusahaan miliaran rupiah tanpa kompetensi memadai.

Mungkin kita ini sedang membantu program BKKBN untuk mengurangi angka penduduk lewat kematian di jalan raya melalui program jualan SIM.

Merubah mind set memang luar biasa sulitnya apalagi kalau sudah kerasukan uang maka tiada lagi peduli akan keselamatan. Melu sopo? melu kono ndang matio, melu kene ndang mbayaro.(CDL-Jkt17115)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share
Leave a comment