Kekerasan Seksual dan Inferioritas Laki-laki

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Sebut saja Nadia bukan nama sebenarnya, sedang asyik bermain dengan putra tunggalnya yang masih berusia empat tahun, di sebuah kawasan kelas menengah-atas di Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Dari senyum dan gerak-gerik luwesnya, tidak ada kesan bahwa perempuan 34 tahun itu pernah mengalami kekerasan mental, fisik dan seksual oleh suaminya sendiri.

Namun, tindakan itulah yang menyebabkan Nadia mengalami luka fisik dan emosional. Dia pun memilih berpisah dan hanya tinggal berdua dengan sang putra.

Dikutip dari BBC Indonesia, Nadia menceritakan peristiwa yang menjadi titik balik bagi semua keputusan itu.

“Tahun lalu (2014), kami sedang tidur bertiga di rumah mertua. Karena sempit, dia tidur di kasur bawah, dan saya sama anak, tidur di ranjang atas. Tiba-tiba dia tarik baju saya, sampai saya jatuh ke bawah, dan mencekik saya,” cerita Nadia.

Tindakan suaminya itu dipicu kemarahan setelah mengetahui bahwa Nadia berbalas pesan di telepon selular dengan laki-laki lain.

Saat itu, mereka sudah setahun tidak tinggal serumah. Alasannya, perempuan ini mengaku tidak tahan dengan siksaan verbal dan emosional yang terus dilakukan suaminya tanpa ‘sebab yang jelas’.

“Saya pernah hampir dipukul di depan anak saya, yang membuat dia trauma hingga sekarang. Setiap mendengar bapaknya berteriak, walaupun teriakan senang, anak saya bisa menangis.”

Peristiwa pencekikan di kamar, tidak berhenti sampai di situ. “Dia kemudian kasih anak saya ke ibunya. Lalu saya ditarik ke kamar dia yang dulu, dan saya dipaksa berhubungan seksual. Saya diperkosa.”

Inferioritas laki-laki

Apa yang terjadi pada Nadia, disebut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, “menggambarkan fakta” yang jarang diketahui orang.

“Lebih dari 60% kasus kekerasan seksual, terjadi di dalam rumah dengan pelaku yaitu ayah, paman, kakak, atau suami korban,” ungkap Mariana Amiruddin, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan.

Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, kekerasan seksual masih menjadi momok paling mengerikan pada daftar kasus kekerasan terhadap perempuan.

Pada 2014 lalu, dari 3.860 kasus kekerasan pada perempuan di ranah komunitas, sebanyak 2.183 kasus atau 56%-nya adalah kasus kekerasan seksual berupa perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual dan paksaan berhubungan badan.

Mariana mengklaim, selain banyaknya korban yang menilai kekerasan seksual sebagai hal ‘wajar’, terutama di dalam rumah tangga, tingginya angka kekerasaan seksual pada perempuan muncul karena budaya patriarki di Indonesia.

“Inilah yang membuat 100% pelaku kekerasan seksual adalah lelaki”.

“Mereka (laki-laki) tidak sadar sudah melakukan kekerasan, karena budayanya seperti itu. Banyak yang melihat bapak memukuli ibunya sebagai hal yang biasa,” ujar Mariana.

Menurut penelitian Komnas Perempuan, ‘kekuasaan’ pada laki-laki tersebut, berpotensi berujung pada amarah, jika sang lelaki mulai merasa inferior atau merasa tidak berdaya.

“Kemarahan dan inferioritas itulah yang mendorong lelaki menunjukkan kekuasaannya dengan cara lain: memperkosa.”

Laki-laki bicara

Salah satu aktivis Aliansi Laki-laki Baru, Syaldi Sahude, menyetujui pernyataan Komnas Perempuan.

“Karena alasan itu pula, biasanya orang-orang terdekat yang menjadi korbannya,” ungkap Syaldi yang aktif menyuarakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Syaldi menilai, solusi utama untuk menekan jumlah kekerasan seksual pada perempuan, adalah dengan mendorong pengesahaan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

“Hukum kita masih tumpul. Di KUHP dari 15 jenis kekerasan seksual, baru tiga yang diakomodasi.”

Dirinya juga mengkritik penerapan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang terjadi pada kasus Nadia.

“Pelaksanaan kebijakan masih jauh. Jika yang menikah saja masih belum merasa aman melapor ke polisi, bagaimana dengan kekerasan seksual pada orang yang belum atau tidak menikah?” ungkap Syaldi.

Keadaan ini jugalah yang mendesak Komnas Perempuan menyebut kekerasan seksual sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan”.

“Bagaimana tidak? berdasarkan catatan kami, setiap 2 jam, ada 3 perempuan Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual,” tegas Mariana.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Dewan Perwakilan Rakyat baru saja menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai salah satu RUU usulan DPR, dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2016.

Image caption DPR tetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk ke dalam Prolegnas 2016.

“Namun masih akan dibahas dengan DPD dan Kementerian, serta masih ada pembentukan panitia kerja (panja) RUU,” kata anggota DPR RI, yang juga merupakan anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Esti Wijayati, kepada wartawan, Selasa (24/11).

RUU yang telah diupayakan Komnas Perempuan untuk masuk ke prolegnas DPR sejak tiga tahun lalu itu, diharapkan bisa “membantu negara melakukan investigasi, menghukum dan merehabilitasi pelaku, serta memulihkan korban”.

Dan bagi Nadia, harapan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual semakin besar untuk disahkan, sangat membahagiakannya.

“Kalau ada undang-undang, istri-istri yang mengalami kekerasan seksual, akan lebih berani karena ada yang mendukung langkah mereka. Selain itu, karena ada kekuatan hukum, suami, pacar atau siapapun calon pelakunya, akan lebih berpikir sebelum bertindak,” ujar Nadia.(Nuk)

Share