TRANSINDONESIA.CO – Ayam semestinya berkotek, namun mengapa malah menggonggong? Karena ayam menjadi pembebek, wak wek wak wek saja. Tatkala ndoronya berteriak seperti bebek maka ayam yang membabu dan membebek akan membeo dan mengikuti celotehan ndoronya.
Parahnya lagi, saat sang ndoro njegog-njegog maka sang ayam akan menggonggong juga malah lebih keras dan terkadang sang ayam malah semakin mirip dengan sang anjing dibanding anjing itu sendiri.
Ayam menggonggong sebenarnya telah menyalahi kodrat, namun apa boleh buat, bisa dan maunya seperti sabda ndoro jadi iapun mirip dengan sang anjing.
Tatkala ada yang mengingatkan dan menyadarkan sang ayam untuk berkotek dan tidak menggonggong, namun sayang sejuta sayang otak mata telinga dan hatinya hanya pada apa sabda ndoro yang lain diabaikannya.
Ndoro cant do no wrong. Ndoro menjadi dewa unggulan dan menjadi sumber energi dan kehidupanya. Apapun kata kebenaran tidak akan digubrisnya kecuali disabdakan sang ndoro.
Belum mulai saja sdh diiyakan, belum dibaca saja sudah mampu diceriterakan. Betapa “wow” ndan mbabunya sang ayam.
Hidup membebek dan mbaboe menjadi kebanggaan dan pilihannya walau ia harus merelakan kehilangan kodratnya tak peduli lagi dengan kotekan sebangsanya.
Ayam menggonggong ndoropun senang, ia pun mulai diberi makan tulang, walau ia bisa kesedak mati karenanya. Namun, apa sabda ndoro tetap dilakukan walau ia harus sengsara menderita karenanya.
Pejang gesang mbabu ndoro, apapun yang terjadi pokok e ndoro top paling nggantheng walau ndoronya hanyalah kaum bedhes yang sedang bandhulan.(CDL-Jkt21115)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana