TRANSINDONESIA.CO – Keselamatan sering dianggap hal kecil, sepele, yang diabaikan bahkan tatkala terjadi kecelakaan dinyatakan sebagai musibah dan takdir. Sebenarnya ini kelalaian dan ketidak pahaman akan safety baik bagi dirinya atau org lain.
Dalam konteks ini, pendidikan keselamatan mestinya menjadi acuan dan kebanggaan dalam perolehan izin mengemudi. Bisa dibayangkan tatkala dalam penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) ingin cepat selesai, ingin segera mendapatkan dengan jalan pintas.
Tatkala diberikan konsep baru tentang safety sikap resistensi dan penolakan begitu besar. Yang dihitung mahal dan murah, untung dan rugi bahkan dengan segala cara dan segala daya digagalkan dijatuhkan bahkan kalau perlu dimatikan.
Ide-ide baru menggeser dari SIM yang menjadi lahan ngarit (cara-cara yang mengabaikan standar safety) menjadi melatih atau mengajar dan menguji begitu sulit dan rumit. Penuh dengan berbagai isu dan saling mencurigai bahkan saling gontok-gontokan baik internal maupun eksternal.
Tatkala SIM hanya dilihat dari segi mahal dan murah sebenarnya sedang menyiapkan jagal dijalan raya dan korban yang akan dijagal.
Adalah para stake holder merasa bertanggung jawab atas meninggal dan cacatnya orang atas kecelakaan lalu lintas? Pola pemikiran yang sudah tertanam SIM hanyalah pelayanan dan cepat atau buru-buru, maka sulit untuk diubah mind setnya agar beralih menuju sistem belajar dan sistem uji.
SIM merupakan previlage yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang telah lulus uji baik administrasi, teori, simulator dan praktek, dimana dianggap telah memiliki pengetahuan, keterampilan, kepekaan, kepedulian akan keselamatan baik bagi dirinya maupun orang lain.
SIM demikian adalah wujud legitimasi kompetensi dan harus didasari pada pendidikan keselamatan. Dengan demikian, SIM bukan dimohon, bukan barang dagangan dan bukan untuk hadiah lomba. SIM sebagai bentuk legitimasi kompetensi yang diperoleh dari edukasi dan ujian. (CDL-Jkt18115)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana