Pemuja Kedangkalan Pengagung Keterbelakangan

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Di era digital sekarang ini semestinya rasionalitas dan modermitas menjadi ikon dan role model bagi hidup dan kehidupan dalam masyarakat yang modern dan demokratis.

Namun, faktanya tidaklah demikian. Pemujaan atas kedangkalan dan pengunggulan atas keterbelakangan yang semestinya merupakan pameran ketololan malah menjadi subyek dan ikon bagi segelintir orang atau sekelompok orang yang sedang/dekat/dipercaya pada ring kekuasaan atau para ndoro birokrasi.

Sikap dan sifat atas perilaku yang membenarkan dan membiasakan yang keliru. Sistem-sistem kroni atau klik (clique) menjadi barometer maupun standar keberhasilan.

Bagi mereka ndoro suka sudahlah cukup, “persetan org lain susah karenanya’. Karena pemujaan kedangkalan merupakan cermin ketololan dan kekacauan atas habitus yang membenarkan dan membiasakan yang keliru.

Dampak atas sikap demikian, maka akan mengunggulkan perkoncoan atau krooni yang sebenarya jauh dari profesionalisme dan merupakan kemunduran akibat sarat dengan KKN.

Penuh tipu daya dan kepura-puraan. Ketulusan hanyalah pada seremonial atau saat-saat ada supervisial saja. Selebihnya sesuka dan semau-maunya.

Siapa tidak menjadi bagian kroni atau bukan konconya akan dianggap sebagai ancaman, pesaing bahkan dianggap golongan tidak loyal.

Label loyalitas ditunjukan pada loyal secara personal atas pejabat yang sedang menjabat. Pemujaan kedangkalan dan pengunggulan keterbelakangan merupakan simbol rusaknya peradaban menuju pada kehancuran dan pembelengguan atas kecerdasan dan moralitas. (CDL-Jkt251015)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share