Ndoro Baru, Disubyo Subyo dan Ditaburi Angpao

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Tatkala seseorang menjadi pejabat atau berpangkat tinggi, tiba-tiba sikap dan perilakunya berubah seakan sudah naik kasta dan menjadi org penting serta dibutuhkan.

Memandang orang lain seakan sebagai kere minggat saja, dagu ditarik sedikit dan melirik plerak plerok menjaga tampang dan menunjukan kewibawaanya.

Sungguh menyebalkan melihat orang-orang semacam ini yang dulunya hanya bisa mbabu dan nyantrik setelah diangkat menjadi ndoro sikap aslinya muncul. Mungkin untuk menutupi ketololannya atau memamerkan bahwa sekarang sudah bukan babu dan cantrik lagi. Walaupun masih ubyang ubyung dan terus berlindung di bawah ketiak ndoronya terdahulu.

Ndoro-ndroro baru memang seakan sudah ditepi gerbang surge, mensejajarkan posisinya dengan sang malaikan pencabut nyawa. Ia mersa sekarang memiliki kewenangan kekuasaan, dan bisa menentukan nasib dan keselamatan orang banyak.

Ia lupa bahwa ia dengan sikap seperti itu hanyalah bagai karnaval saja bergaya dengan baju kebesaranya tanpa tahu apa makna yang akan dilakukannya. Ia psti hanya mencintai jabatannya dan bukan mencintai pekerjaannya.

Apa yang dilakukannnya sebenarnya untuk menunjukan akunya dan ketakutanya, yang dulu ceria tiba-tiba menjadi jaim, yang dulu akrab sekarang menjaga sikap. Ia tidak sungkan menyepak dan menginjak sahabat-sahabatnya dahulu.

Ndoro-ndoro ini mimesis ndoronya terdahulu, apa maunya semua orangpun tahu. Agar ia nampak berwibawa (tatkala hanya nampak sebenarnya tidak berwibawa), karena ia seakan memakai topeng belaka.

Ia lupa bahwa kelasnya sebenarnya hanya cantrik dan babu yang mengandalkan dengkul dan uangnya saja.

Sayang kewibawaannya bagai udang di balik rempeyek, ia ingin tampil beda disubyo subyo dan kerengnya agar semua takut dan menaburi angpao.

Belum mati sudah ingin jadi hantu, bagaimana matinya nanti mungkin disumpahi jadi babi ngepet.(CDL-Jkt201015)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share