TRANSINDONESIA.CO – Sebagaimana judul novel RM Mangunwijaya, awalnya Dewi Umayi seorang putri Dewi yang cantik, manis dan lembut, setelah melakukan pelanggaran terkena kutukan menjadi Batari Durga (Ratu Raksasa) yang mengerikan.
Analogi Durga-Umayi dapat memberikan refleksi atas pejabat-pejabat yang saat berjuang meraih kekuasaan menunjukan sikap-sikap pejuang yang heroic. Namun setelah mencapai kedudukan dan jabatan, merasakan manisnya uang dan kenikmatan menjadi lupa daratan, serakah dan tidak ada bekas idealismenya sama sekali.
Setelah menjadi penguasa semua diambil alihnya dan segala sumber daya dihisapnya hingga habis.
Saat kampanye mengobral janji setelah jadi lupa diri. Rakyat yang dipecundangi dijadikan bulan-bulaan dan dijdkan korban.
Bagaimana bisa lupa dan melupakan idealismenya, janjinya saat menjadi pejabat? Apakah teriakan-teriakannya dulu karena tidak kebagian?
Apa karena mencari perhatian dengan menjual perjuangan? Pejuang-pejuang pamrih sebenarnya merupakan metamorfosa dari satria menjadi raksasa setelah berkuasa.
Bagaimana berharap dengan kepala yang raksasa tahunya makan, marah, merintah, minta jatah banyak.
Tentu saja tidak bisa berdiskusi atau menerima masukan, semua pokok-e semua sesuka hatinya. Ia merasa sebagai ndoro berkuasa, makan cantrik-cantriknya kalau mau selamat yang harus berani ngawulo atau mengabdi, bahkan mbabu. Kalau tidak akan dilibas sampai jadi debu.
Ini akan berulang dan terus berulang sampai sang durga kembali lepas dari kutukan menjadi seorang Dewi.
Demikian juga kita menanti para ndoro raksasa menjadi ksatria yang terlepas dari kutukan-kutukan keduniawian, mungkin baru akan sadar dan ingat janji maupun idealismenya.(CDL-Jkt181015)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana