Aktivis Gambut Riau Tantang APHI Debat Terbuka

Jony Setiawan Mundung
Jony Setiawan Mundung

TRANSINDONESIA – Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) menilai bahwa APHI adalah kumpulan perusahaan berpikiran negatif dan biang kerok kerusakan alam di Riau.

“Anggota APHI menganggap semua pejabat bisa disuap, anggota APHI terutama anak perusahaan IKPP dan RAPP terbukti banyak terlibat skandal korupsi besar di Riau,” kata Johny S Mundung koordinator JMGR, Senin (28/9/2015)

“Mulai dari awal permohonan perizinan sampai pada saat mau buka lahan selalu saja konflik dengan masyarakat , merusak kawasan konservasi, sampai merekayasa kebakaran hutan,” katanya.

Johny S Mundung juga menantang ketua APHI untuk debat terbuka dengan nya mewakili JMGR.

“Saya berani katakan bahwa selalu anggota APHI terlibat banyak kasus dan sangat berperan aktif di lapangan. Saya tantang Ketua APHI untuk debat terbuka, APHI kalau tak bisa atur anggotanya agar berhenti menyengsarakan rakyat dan supaya jangan terlibat suap menyuap pejabat ,kongkalingkong dengan pejabat serta aparat, bubarkan saja APHI ” katanya.

Sebelumnya, APHI Riau tak terima disebut biang kerok Karhutla, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Provinsi Riau merasa seperti dibombastis akibat terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera termasuk di Riau, sehingga melupakan logika bisnis suatu perusahaan.

“Kita dibombastis dari segala penjuru dan seolah-olah perusahaan kehutanan yang membakar. Tapi, mereka lupa dengan logika bisnis pengusaha kehutanan,” papar Ketua APHI Provinsi Riau Ahmad Kuswara pecan lalu.

Dari logika bisnis, lanjut dia, tidak mungkin pengusaha kehutanan main bakar pada lahan konsesi yang diberi pemerintah baik berupa kayu alam maupun kayu Hutan Tanaman Industri (HTI) semuanya berarti membakar duit.

Saat ini, katanya, ada upaya melemahkan asosiasi bisnis di sektor kehutanan itu dengan menutup rapat apa yang telah diberikan kepada Negara dan meluapkan emosi sesaat. Termasuk ketika warga membakar, masuk ke hutan.

“Kita bukannya tidak mau disalahkan. Kalau memang terjadi dan terbukti, desak aja. Seperti mau dikembalikan izin? Apakah ada jaminan tahun depan tidak terjadi, kalau memang penanganan masih seperti ini?,” katanya.

Kalau untuk peralatan pemadaman kebakaran, ucap Ahmad, maka perusahaan HTI di Riau dalam beberapa tahun terakhir sudah lengkap peralatan pemadaman api.

“Sedangkan untuk pemadaman sekarang, lebih banyak dari HTI dan bukan dari perkebunan. Ada sumbangan dari Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia)? Belum ada. Semuanya dari kehutanan baik helikopter, pompa air, sarana dan prasarana,” jelasnya.

Dalam rilis APHI akhir pekan lalu, para anggota asosiasi itu mengalami kerugian setiap kali ada kebakaran yang terjadi di wilayah kerjanya karena harus kehilangan aset tanaman dan harus mengeluarkan biaya penanaman ulang.

Purwadi, Direktur Eksekutif APHI mengatakan, tidak mungkin perusahaan pemegang izin melakukan pembakaran hutan, tetapi harus menghadapi tuduhan negatif setiap kali kebakaran lahan terjadi.

“Tidak mungkin terjadi kesengajaan pemegang izin melakukan pembakaran. Hutan itu, gudang kita. Kalau bakar gudang kita, maka itu kita sangat rugi sekali. Betul bahwa masyarakat terlibat pembakaran, tapi kita minta telusuri siapa di belakangnya,” katanya.

APHI saat ini juga fokus pada upaya pemberdayaan masyakarat tempatan terutama di area sekitar konsesi perusahaan untuk mengubah perilaku melalui inisiatif kolaboratif multi pihak.

“Program “fire free village program” diinisasi anggota APHI dengan mengampanyekan program desa bebas api di Riau, akan terus dikembangkan. Sebab program ini melibatkan pemerintah daerah bupati, camat, kepala desa, polisi dan komponen lain,” terang Purwadi.(Sbr)

Share
Leave a comment