TRANSINDONESIA.CO – Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menilai Bank Indonesia (BI) terlalu menyepelekan pelemahan rupiah yang terjadi belakangan ini. Menurut Faisal, pernyataan para pejabat bank sentral terkait rupiah tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Faisal mencatat, pada Rabu (23/9) rupiah sempat menyentuh titik terendahnya dalam empat tahun terakhir yaitu di angka Rp 14.623 per dolar Amerika Serikat (AS).
“Ini rekor nilai tukar rupiah terendah yang terbaru, dan sudah empat tahun lebih rupiah merana. Terlama dalam sejarah,” ujar Faisal dalam risetnya, dikutip Jumat (25/9/2015).
Jika dihitung sejak 2 Agustus 2011, nilai rupiah menurut mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas tersebut sudah tergerus 42,14 persen terhadap dolar.
“Jadi, tak benar pernyataan Gubernur Bank Indonesia bahwa pelemahan rupiah ini bersifat sementara,” ujar Faisal mengomentari pernyataan Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara di sejumlah media, beberapa waktu lalu.
Faisal merasa sudah saatnya pemerintah maupun BI menyalahkan faktor eksternal sebagai penyebab pelemahan rupiah yang disebut mereka bersifat jangka pendek.
“Karena pelemahan sudah berlangsung lama. Ada masalah struktural yang membuat rupiah lunglai berkepanjangan,” tegasnya.
Sebelumnya, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Aziz juga melihat adanya potensi kesalahan kebijakan moneter yang diambil BI sehingga membuat rupiah terus melemah. Harry yang pernah menjadi Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menyatakan BPK siap melakukan audit kebijakan stabilitas nilai tukar yang dibuat BI apabila diminta oleh DPR.
Audit kebijakan moneter yang dimaksud Harry mencakup keseluruhan kebijakan, termasuk kemungkinan adanya konflik kepentingan dalam pengendalian nilai tukar rupiah.
Dia mengatakan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI diatur bahwa BPK tidak bisa melakukan audit terhadap kebijakan bank sentral tanpa ada permintaan resmi dari DPR. Menurutnya, selama ini BPK hanya diperkenankan memeriksa anggaran operasional BI.
Dalam ketentuan UU, jelas Harry, BI merupakan lembaga yang bersifat independen sehingga kebijakannya tidak bisa diaudit. Namun, jika sudah ada permintaan resmi dari rakyat yang diwakili oleh DPR, maka BPK diperbolehkan untuk melakukannya.
“Sampai sekarang belum ada surat dari DPR. Kami tetap tunggu, apakah DPR serius atau apakah ini keinginan satu-satu,” tuturnya.(Cnn/Lin)