TRANSINDONESIA.CO – Borobudur sebagai World Heritage yang tercatat pada Unesco dan pernah menjadi salah satu keajaiban dunia. Begitu megah dan monumentalnya warisan nenek moyang, hingga wilayah Borobudur menjadi kampung internasional.
Sekitarnya terkesan tidak atau belum disentuh sebagai bagian pendukungnya. Teriakan-teriakan tukang parkir, pedagang asongan yang terus mengejar turis kesana kemari dan wc umum menjadi andalan untuk mengais rejeki dari kemegahan Borobudur.
Tetap saja masih seperti yang dulu, sunyi, sepi, kumuh, minim teknologi, tak lagi sesuai dengan dunia pariwisata yang digembor-gemborkan Visit Indonesia, Indonesia Year ayau lainnya.
Aparaturnya memang tidak tahu, tidak mampu atau tidak mau tahu? Ini yang perlu dipertanyakan dan mungkin dimintakan pertanggungjawabannya.
Pada saat kumuh kacau tak tersentuhkan, seakan dibiarkan. Benarkah ini sebagai pelestarian zaman kejayaan Syailendra?
Kondisi Borobudur adalah cermin Indonesia yang begitu luar biasa, terus saja dipusingkan dengan urusan-urusan yang tidak semestinya.
Sumberdaya dikuasai orang lain, kemewahan bagi pejabatnya dan kesengsaraan atau kemerosotan bagi rakyatnya terus saja menjadi bagian yang tidak terselesaikan. Teknologi didominasi asing.
Ini bukan sinis atau mengolok bangsa sendiri, melainkan kecintaan dan kebanggaan agar jangan keblinger atau kebablasen.
Apakah kita diam saja ketika anak kita bermain api dan berada pada posisi ygan berbahaya atau membahayakan dirinya? Kalau perlu dibentak atau dilakukan tindakan tegas agar selamat.
Kritik bukan kebencian justru sebaliknya dan dengan kejujuran mengatakan yang sebenarnya, sebagai obat atas kegilaan yang tak dirasa dan malah dibanggakanya. (CDL-Jkt150515)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana