Politik Kaum “Ndolop”

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Para kurawa akan berteriak saling saut menhayut bahkan terkadang nampak berebut “kulo…kulo…kulo… “ (saya…saya…saya…), saat dipanggil atau dicek oleh prabu Duryudono (anak tertua dari pra Kurawa).

Kurawa anak Prabu Destarata yang berjumlah 100 orang. Dimana Kurawa mempunyai watak yang serakah, jahat, licik dan senang mencelakakan orang lain.

Para anggotaa Kurawa sebagai suporter dari Prabu Duryudono. Apapun kebijakan sang Prabu dianggap sebagai kebenaran dan mereka mendukungnya dengan segala cara dihalalkan.

Gaya Kurawa ini menjadi analogi politik kaum suporter (kaum ndolop) dalam mengimplementasikan perpolitikanya.

Model ndolop dimaknai sebagai cara mengais keuntungan dalam moment-moment yang dianggap menjadi sumber daya yang bisa dieksploitasi.

Kaum ndolop ini memiliki model-model politik tanpa karakter, dan hanya mengekor saja serta mengulang apa dikatakan leader bagai echoo yang menggema dan bisa memekakan telinga.

Kalau ada bakul-bakul obat kuat di pinggir jalan, penjual obat, bandar dadu dan rolet di kampung selalu ada ndolop-nya yang menjadi penglaris atau sebagai cantrik-cantrik yang ikut mengelu-elukan kemanjuran dan kemujaraban obat dan bakulnya.

Kaum ndolop-ndolop ini sebenarnya bagian nyangkem njeplak yang ngubub-ngububi (memanas-manasi) situasi.

Pada saat sang pemimpin bicara tahu mengambil kebijakan para ndolop ini langsung sudah menyebarkan efek-efek positif dan keberhasilan-keberhasilannya.

Inilah bagian politik ngobos (omdo : omong doang), yang mikir satu ndolopnya bisa seribu.

Kaum ndolop ini sebenarnya cantrik-cantrik (pembantu-pembantu yang tidak punya karakter dan hanya numpang hidup).

Mereka tidak ada daya atau spesifikasinya, sebatas sebagai pasukan tawuran dan siap jadi pupuk pertama kali perang.

Namun pada faktanya, mereka juga bukan kaum pemberani yang hanya menjadi ekor ketika kepalanya bermasalah. Mereka inilah yang terbirit-birit duluan.

Kaum-kaum ndolop ini pada perkembangannya juga akan di-ndoro-kan (dijadikan tuan atau pejabat juga).

Sikap dan tabiat ndolop itu tak akan hilang bahkan semakin besar dan semakin menguat. Tanpa daya dan kompetensi dan selalu siap berlari untuk bersembunyi.

Sikapnyapun tidak elegan bahkan tidak mencerminkan sebagai negarawan karena gawan bayi (bawaan oroknya) memang sudah mendarah daging dan dilebarkan sayapnya tatkala berkuasa.

Kaum ndolop ini tatkala menjadi pemimpin, ia akan kembali menyusun model bagaimana dirinya berjuang dengan menjilat dan mengekor.

Maka yang dipilih dan disukainya adalah kaum-kaum yang berjiwa ndolop juga, yang memang tanpa kemampuan, karena yang pentg diri dan kelompoknya happy. Tak peduli orang lain susah, negara mau bubar sekalipun para ndolop itu tetap slow dan tenang-tenang saja.(CDL-180115)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share
Leave a comment