PUDI Uji Kompetensi Dan Sertifikat Kompetensi Dokter

Muhamamd Joni
Muhamamd Joni

TRANSINDONESIA.CO – Perhimpunan Dokter Umum  Indonesia (PDUI) uji uji kompetensi dan sertifikat kompetensi dokter ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU DikDok) mengakibatkan masyarakat atau pasien banyak yang terhambat mengakses dokter, dan sebaliknya dokter dihalangi melayani masyarakat.

“Jika keadaan itu berkembang massif, kemungkinan besar terjadi kevacuman  pelayanan kesehatan masyarakat,” kata Muhammad Joni,SH.MH salah seorang kuaa hukum pengurus pusat Perhimpunan Dokter Umum  Indonesia (PDUI), yang melakukan uji kompetensi dan sertifikat kompetensi dokter ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Aktivis HAM anak itu menilai, UU DikDok  dikhawatirkan menyebabkan  kevakuman pelayanan kesehatan masyarakat, gagalnya program Jaminan Kesehatan nasional (JKN), merusak sistem kesehatan yang sudah eksis, menimbulkan ketidakpastian hukum dan  menghambat (blocking) akses pelayanan dokter kepada masyarakat atau pasien.

“Itulah beberapa alasan  Pengurus Pusat PDUI  mengajukan judicial review atas 25 (dua puluh lima) norma  UU DikDok,” kata Joni Kamis (27/11/2014).

Menurut Joni yang putra asal Medan ini  mendapat mandat kuasa hukum langsung dri   Dr. Ketua Pengurus Pusat  Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI), Abraham Andi Padlan Patarai , M.Kes dan Sekretaris Pengurus Pusat PDUI, Dr.Andi Alfian  Zainuddin, M.KM menyatakan, bila ada tetangga sakit, jangan tergopoh ke dokter.

Trans Global

“Mesti dipastikan dokternya adalah DLP (Dokter Layanan Primer), bukan dokter umum.  Itu mengusarkan dokter umum di garda depan. Gusar pada ketentuan UU Dikdok.  Kegusaran itu membuncah dan membesar hingga berujung ke MK. PDUI meminta MK menganulir 25 norma dalam UU DikDok. Dokter umum (General Practitioner) tidak bisa leluasa lagi melayani pasien di jalur primer,” katanya.

Pengurus Pusat PDUI,  melalui  kuasanya  Muhammad Joni, S.H., M.H., Zulhaina Tanamas, S.H., Muhammad Fadli Nasution, S.H., M.H., Mukhlis Ahmad, S.H., Triono Priyo santoso, S.H., menguji sebanyak 25 norma UU DikDok, mengenai  ketentuan  Uji Kompetensi dan Sertifikat Kompetensi, dan ketentuan dokter layanan primer. Sidang pertama sudah digelar 18 November 2014 di MK.

Untuk materi yang diuji kata Joni didampingi kuasa hukum lainnya Zulhaina Tanamas, S.H., Muhammad Fadli Nasution, S.H., M.H., Mukhlis Ahmad, S.H., Triono Priyo santoso, S.H, adlah norma norma UU DikDok (1) Pasal 36 ayat (1), (2), (3).   (2)  Pasal 1 angka 9.  (3) Pasal 7 ayat (5) huruf b.  (4) Pasal 7 ayat (9).  (5) Pasal 8 ayat (1).  (6) Pasal 8 ayat (2). (7) Pasal 8 ayat (3). (8) Pasal 8 ayat (4).  (9) Pasal 8 ayat (5)  (10) Pasal 10.  (11) Pasal 19 ayat (1).  (12) Pasal 19 ayat (2).  (13) Pasal 19 ayat  (3).  (14) Pasal 19 ayat (4).  (15) Pasal 24 ayat (5) huruf b.  (16) Pasal 24 ayat (7) huruf b.  (17) Pasal 28 ayat (1).  (18) Pasal 28 ayat (2).  (19) Pasal 29 ayat (1).  (20) Pasal 29 ayat (2). (21) Pasal 31 ayat (1) huruf b.  (22) Pasal 39 ayat (1).  (23)  Pasal 39 ayat (2). (24) Pasal 40 ayat (2) huruf b. (25) Pasal 54.

Batu uji yang dipakai adalah  Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2),  Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (3), dan Pasal 28A UUD 1945.

“Untuk menyetel  seluruh dokter umum  menjadi  DLP, dengan  cara menyekolahkan lagi  sebanyak  1.920 dokter setiap tahun dengan  pendidikan DLP,  maka perlu waktu 50 tahun untuk menyetel 96.087  dokter umum menjadi DLP. Itupun   dengan asumsi pertambahan dokter 0%, sehingga. Saat  menjalani pendidikan DLP, dokter umum tidak bisa praktik dan melayani pasien, keadaan itu menjadi penyebab blocking pelayanan dokter pada masyarakat/pasien. Hal itu menjadi kegusaran dokter umum yang bergabung dalam PDUI,” tuturnya,(lin)

Share