![Muhamamd Joni](http://transindonesia.co/wp-content/uploads/2014/11/muhammad-joni.jpg)
TRANSINDONESIA.CO – Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) uji uji kompetensi dan sertifikat kompetensi dokter ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU DikDok) mengakibatkan masyarakat atau pasien banyak yang terhambat mengakses dokter, dan sebaliknya dokter dihalangi melayani masyarakat.
“Jika keadaan itu berkembang massif, kemungkinan besar terjadi kevacuman pelayanan kesehatan masyarakat,” kata Muhammad Joni,SH.MH salah seorang kuaa hukum pengurus pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI), yang melakukan uji kompetensi dan sertifikat kompetensi dokter ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Aktivis HAM anak itu menilai, UU DikDok dikhawatirkan menyebabkan kevakuman pelayanan kesehatan masyarakat, gagalnya program Jaminan Kesehatan nasional (JKN), merusak sistem kesehatan yang sudah eksis, menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat (blocking) akses pelayanan dokter kepada masyarakat atau pasien.
“Itulah beberapa alasan Pengurus Pusat PDUI mengajukan judicial review atas 25 (dua puluh lima) norma UU DikDok,” kata Joni Kamis (27/11/2014).
Menurut Joni yang putra asal Medan ini mendapat mandat kuasa hukum langsung dri Dr. Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI), Abraham Andi Padlan Patarai , M.Kes dan Sekretaris Pengurus Pusat PDUI, Dr.Andi Alfian Zainuddin, M.KM menyatakan, bila ada tetangga sakit, jangan tergopoh ke dokter.
“Mesti dipastikan dokternya adalah DLP (Dokter Layanan Primer), bukan dokter umum. Itu mengusarkan dokter umum di garda depan. Gusar pada ketentuan UU Dikdok. Kegusaran itu membuncah dan membesar hingga berujung ke MK. PDUI meminta MK menganulir 25 norma dalam UU DikDok. Dokter umum (General Practitioner) tidak bisa leluasa lagi melayani pasien di jalur primer,” katanya.
Pengurus Pusat PDUI, melalui kuasanya Muhammad Joni, S.H., M.H., Zulhaina Tanamas, S.H., Muhammad Fadli Nasution, S.H., M.H., Mukhlis Ahmad, S.H., Triono Priyo santoso, S.H., menguji sebanyak 25 norma UU DikDok, mengenai ketentuan Uji Kompetensi dan Sertifikat Kompetensi, dan ketentuan dokter layanan primer. Sidang pertama sudah digelar 18 November 2014 di MK.
Untuk materi yang diuji kata Joni didampingi kuasa hukum lainnya Zulhaina Tanamas, S.H., Muhammad Fadli Nasution, S.H., M.H., Mukhlis Ahmad, S.H., Triono Priyo santoso, S.H, adlah norma norma UU DikDok (1) Pasal 36 ayat (1), (2), (3). (2) Pasal 1 angka 9. (3) Pasal 7 ayat (5) huruf b. (4) Pasal 7 ayat (9). (5) Pasal 8 ayat (1). (6) Pasal 8 ayat (2). (7) Pasal 8 ayat (3). (8) Pasal 8 ayat (4). (9) Pasal 8 ayat (5) (10) Pasal 10. (11) Pasal 19 ayat (1). (12) Pasal 19 ayat (2). (13) Pasal 19 ayat (3). (14) Pasal 19 ayat (4). (15) Pasal 24 ayat (5) huruf b. (16) Pasal 24 ayat (7) huruf b. (17) Pasal 28 ayat (1). (18) Pasal 28 ayat (2). (19) Pasal 29 ayat (1). (20) Pasal 29 ayat (2). (21) Pasal 31 ayat (1) huruf b. (22) Pasal 39 ayat (1). (23) Pasal 39 ayat (2). (24) Pasal 40 ayat (2) huruf b. (25) Pasal 54.
Batu uji yang dipakai adalah Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (3), dan Pasal 28A UUD 1945.
“Untuk menyetel seluruh dokter umum menjadi DLP, dengan cara menyekolahkan lagi sebanyak 1.920 dokter setiap tahun dengan pendidikan DLP, maka perlu waktu 50 tahun untuk menyetel 96.087 dokter umum menjadi DLP. Itupun dengan asumsi pertambahan dokter 0%, sehingga. Saat menjalani pendidikan DLP, dokter umum tidak bisa praktik dan melayani pasien, keadaan itu menjadi penyebab blocking pelayanan dokter pada masyarakat/pasien. Hal itu menjadi kegusaran dokter umum yang bergabung dalam PDUI,” tuturnya,(lin)