Diperlukan Bukan Hanya Pemerintahan yang Baik, Tapi Juga Cerdas

Presiden SBY menyampaikan pidato pada Forum Indonesia`s Reducing Emission form Deforestration and Degradation (REDD+) di Markas PBB, New York, AS, Rabu (24/9/2014) siang waktu setempat.(pri)
Presiden SBY menyampaikan pidato pada Forum Indonesia`s Reducing Emission form Deforestration and Degradation (REDD+) di Markas PBB, New York, AS, Rabu (24/9/2014) siang waktu setempat.(pri)

TRANSINDONESIA.CO – Belajar dari 15 tahun pelaksanaan Tujuan Pembangunan Milenium atau MDG’s, peran pemerintah sangat penting. Diperlukan bukan hanya pemerintahan yang baik, juga pemerintahan yang cerdas (smart).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan hal tersebut dalam pidatonya pada sesi debat umum Sidang ke-69 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), di Markas PBB, New York, Amerika Serikat, Rabu (24/9/2014) siang waktu setempat atau Kamis (25/9/2014) dini hari di Indonesia.

“Banyak negara dengan tingkat pembangunan yang rendah, sumber daya yang terbatas, dan dilanda konflik serta peperangan bisa mencapai target MDG’s. Syaratnya, mereka menerapkan kebijakan yang tepat, melakukan investasi yang cerdas untuk manusia, sumber daya, dan membangun institusi yang kuat,” kata Presiden SBY.

Dengan kata lain, pemerintahan yang cerdas. Pemerintaha yang cerdas, lanjut Presiden SBY, biasanya melibatkan kepemimpinan yang inovatif dan partisipasi aktif masyarakat. “Tanpa setidaknya dua elemen tersebut, semua kerja keras kita tidak akan mendapatkan hasil diinginkan,” SBY menambahkan.

Dan dengan pemerintahan cerdas, negara dapat melampaui potensi mereka dan melakukan lomapatan katak. “Di Indonesia, di luar imajinasi terliar kami, kami telah berhasil meningkatkan pendapatan nasional per kapita sebesar 400 persen dalam hanya satu dekade singkat,” Presiden menjelaskan.

Sidang ke-69 Majleis Umum PBB dibuka oleh Sekjen PBB Ban Ki-moon. Presiden Brasil Dilma Roussef dan Presiden AS Barack Obama mengawali pandangannya pada sesi debat umum. Presiden SBY menyampaikan pidatonya pada urutan ke-14, setelah Presiden Finlandia Sauli Niinisto dan sebelum Presiden Argentina Cristina Fernández de Kirchner.

Dalam pidatonya, SBY mengajak untuk belajar dalam pengalaman 15 tahun MDG’s. Diperlukan kemitraan global yang lebih kuat. Namun ternyata hal itu tidak bisa terjadi di tingkat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Protokol Kyoto, reformasi arsitektur keuangan global, dan mereformasi PBB. Semuanya berjalan lambat.

“Saya percaya, kita bisa mencapai MDG’s jauh lebih baik jika kita dapat meningkatkan kerja sama yang lebih komprehensif. Kita memiliki alat, sumber daya, pengalaman, dan infrastruktur untuk memanfaatkan kerja sama internasional tersebut. Yang kita butuhkan adalah kemauan politik,” Presiden SBY menegaskan.

Untuk melangkah menuju agenda pembangunan global yang baru, Presiden SBY mengajak untuk menarik pelajaran dari sebelumya agar kita tidak jatug dalam janji dan perangkap pembangunan. Dari apa yang kita inginkan dan apa yang tidak kita inginkan.

“Kami tidak ingin kemajuan pembangunan diukur berdasarkan jumlah aturan yang dibuat, dan akhirnya tidak manusiawi dan meminggirkan warga kami,” ujar SBY.

Apa yang diinginkan negara-negara berkembang adalah pembangunan yang adil, memberdayakan rakyat, dan mobilitas sosial-ekonomi bagi semua, serta memperluas kesempatan tanpa diskriminasi.

“Kami ingin pembangunan itu merupakan jaminan kebebasan, martabat manusia, dan menyediakan kualitas hidup yang baik. Kami ingin pembangunan berkelanjutan yang melindungi dan memelihara lingkungan untuk generasi mendatang,” Presiden SBY menegaskan.(pri/sof)

Share
Leave a comment