TRANSINDONESIA.CO – Hubungan pers dengan negara dan pemerintah sering disebut hubungan cinta dan benci (hate and love relations. Siapapun yang jadi presiden atau perdana menteri di negara demokrasi akan merasakan situasi ini.
“Kalau kritik gencar, saya sering untuk menenangkan hati. Saya bicara dengan PM Australia yang dikenal persnya kritis, ternyata nasib mereka kurang lebih sama,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menghadiri silahturahmi pers nasional dan peluncuran buku SBY dan Kebebasan Pers: Testimoni Komunitas Media di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Jumat (5/9/2014) malam.
Presiden SBY bercerita, enam tahun lalu datang tokoh komunikasi ke Indonesia untuk wawancarainya. Wawancara itu juga diabadikan melalui rekaman video dan akan disatukan dengan pemimpin negara lain. Sang tokoh asing itu mengajukan pertanyaan, bagaimana pandangan anda terhadap demokrasi, tidakkah masa lalu Indonesia tidak ramah dengan demokrasi?
Saya, kata SBY, memiliki keyakinan demokrasi yang matang akan mengalahkan semua sistem di dunia. Dan pernyataan tersebut digarisbawahi yang dianggap orisinil.
“Kita cinta demokrasi, kebebasan, dan openess di negeri ini. Jadikan ini hadiah yang manis bagi rakyat yang menginginkan nilai yang baik,” ujar SBY.
SBY berharap Indonesia melanjutkan konsolidasi demokrasi. Kita telah memilih demokrasi. “Demokrasi diyakini dapat membawa kebaikan, tetapi ada wajah buruk dari kebebasan. Mari kita bangun dan matangkan dengan sebaik-baiknya,” SBY menjelaskan.
Kebebasan media tanpa batas, dinilai Kepala Negara, juga dapat disalahgunakan. Namun SBY yakin bangsa ini ke depan akan menemukan titik keseimbangan yang manis antara kebebasan dengan stabilitas politik dan keamanaan.
“Itu tujuan kembar, twin objecttive. Saya mohon diri setelah Oktober. Terima kasih pers, kita akan bertemu lagi pada medan pengabdian yang berbeda,” kata Presiden SBY menutup sambutannya.(pri/sof)