Di Riau Pabrik Karet jadi Pabrik Kelapa Sawit

Perkebunan kelapa sawit.(dok)
Perkebunan kelapa sawit.(dok)

TRANSINDONESIA.CO – Dinas Perkebunan Provinsi Riau mengungkapkan, sebanyak empat pabrik pengolahan karet yang dua diantaranya perusahaan multinasional Malaysia, telah tutup karena kekurangan bahan baku dan beralih ke komoditas kelapa sawit yang lebih menguntungkan.

“Pemerintah tidak bisa intervensi apabila manajemen perusahaan beralih ke komoditas lain karena pertimbangan untung-rugi,” kata Kepala Bidang Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (P2HP) Dinas Perkebunan Riau Ferry HC Ernaputra di Pekanbaru, kemaren.

Menurut dia, keempat pabrik pengolahan karet yang tutup tersebut adalah PT Adei Plantation di Duri, Kabupaten Bengkalis, PT Union Siak di Kota Pekanbaru, PT Mardec Nusa Riau di Kabupaten Kampar, dan PT Mitra Unggul Perkasa di Kabupaten Pelalawan.

Adei dan Mardec berasal dari Malaysia

Ferry mengatakan, Adei telah melayangkan surat permohonan untuk beralih ke bisnis sawit sejak 2012, dan perusahaan tersebut juga sudah menggeluti bisnis sawit di Kabupaten Pelalawan.

“Kebun karet perusahaan juga sudah beralih ditanami sawit. Sebelumnya, tanaman karet mereka juga rusak karena diserang hama jamur putih,” ujarnya.

Untuk PT Union Siak, manajemen perusahaan kemudian membuka pabrik baru di Kabupaten Kampar dengan nama PT Hervenia.

Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Riau, Nur Hamlin mengatakan hingga kini Adei masih terdaftar di Gapkindo karena belum mengembalikan surat tanda pengenal produsen.

“Namun, mereka sudah dapat izin dari Bupati Bengkalis,” katanya saat dihubungi dari Pekanbaru.

Sedangkan, Mitra Unggul Perkasa sudah menyerahkan surat tanda pengenal produsen dan beralih ke bisnis sawit. Untuk Mardec Nusa Riau, sudah berhenti memproduksi lateks karet sejak 2012.

Menurut dia, Mardec sebelumnya menggantungkan pasokan bahan baku lewat kerja sama dengan PTPN V.

“Sejak 2012 lalu pabrik Mardec stop operasi. Mungkin karena masalah internal,” ujarnya.

Nur menambahkan, masalah utama saat ini adalah kapasitas terpasang pabrik lebih besar dari ketersediaan bahan baku (idle capacity).

“Karena ada kecenderungan peningkatan kapasitas terpasang dan pertambahan pabrik, sementara perluasan kebun dan peremajaan tanaman karet hampir tidak ada,” ujarnya.

Di atas kertas, perkebunan karet di Riau memang cukup luas mencapai sekitar setengah juta hektare, lanjutnya, namun produktivitasnya sangat rendah karena hanya mampu menghasilkan sekira 600 kilogram per hektarnya.

Kondisi itu sangat timpang jika dibandingkan dengan produksi di Sumatera Utara yang mampu menghasilkan sekitar 2,5 ton per hektare.

Menurut dia, kondisi tersebut diperparah karena tata niaga komoditas tidak mengatur untuk pemenuhan kebutuhan industri di daerah penghasil.

Akibatnya, petani tergiur menjual bokar ke pedagang pengepul dari Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara yang berani membeli dengan harga lebih tinggi dari harga pabrik di Riau.

“Di atas kertas memang benar produksinya mencapai 350 ribu ton per tahun, tapi yang masuk ke pabrik di Riau hanya sekitar 200 ribu saja karena sebagian besar dijual ke luar,” ujarnya.

Dinas Perkebunan Riau tengah melakukan pembaruan data terkait perusahaan karet yang masih beroperasi.

Pabrik pengolahan karet yang tersisa di Riau tinggal sembilan unit yang dikelola enam perusahaan.

Pabrik terbesar adalah milik PT Andalas Agro Lestari di Kabupaten Kuantan Singingi, dengan kapasitas terpasang mencapai 42.000 ton per tahun.

Lalu, PT Bangkinang sebanyak dua unit di Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar, PT Rickry dua pabrik di Kota Pekanbaru dan Kampar, PT Hervenia di Kampar, dua pabrik PTPN V di Kabupaten Indragiri Hulu dan Kampar, dan satu pabrik PT Tirta Sari Surya di Indragiri Hulu.

Luas lahan kebun karet di Riau tercatat 500.851 hektare yang mayoritas perkebunan rakyat.

Sebagian besar tanaman karet berusia tua dan kurang produktif dengan produksi per tahun hanya 350.476 ton bahan olah karet rakyat (bokar).(ant/ful)

Share
Leave a comment