Benarkah Anak Autis Banyak Berasal dari Keluarga Kaya?

Ilustrasi.(ist)
Ilustrasi.(ist)

TRANSINDONESIA.CO – Tidak benar bila ada yang menyebutkan bahwa anak-anak dengan kondisi autisme lebih banyak lahir dari keluarga yang tergolong borjuis. Mereka yang tinggal jauh dari kota pun, sebenarnya memiliki risiko yang sama dapat melahirkan seorang anak dengan kondisi seperti ini.

Motivator Keluarga Anak Berkebutuhan Khusus, Kak Kresno, mengatakan, banyak faktor yang memungkinkan seorang ibu melahirkan anak dengan kondisi autisme. Baik ibu yang tinggal di kota, maupun yang jauh dari kota. Salah satunya adalah saat trimester pertama kehamilan, di mana terjadi proses pembentukan jaringan otak di dalam janin, orangtua mengalami kontaminasi dari lingkungan luar, yang memperburuk keadaan.

“Entah itu berasal dari makanan yang mengandung logam berat, dan makanan laut yang tercemar limbah pabrik, terutama yang tinggal di perkotaan seperti Jakarta ini,” kata Kresno dikutip dari kepada Health Liputan6, Senin (18/8/2014)

Belum lagi di zaman seperti ini, banyak makanan yang mengandung bahan pengawet yang membahayakan bagi tubuh kita, yang mengonsumsinya. Seperti tahu ada formalin, dan bakso terbuat dari boraks.

Tidak hanya dari makanan, dari asap kendaraan di mana terkandung timbal (salah satu jenis logam berat dengan kadar limbah cukup tinggi) pun, turut memengaruhinya. “Ini yang paling banyak mengalami adalah orang kota. Mungkin, ini pula yang akhirnya membuat orang berpikir seperti itu,” kata Kresno.

Pria bernama Kresno Muyadi, yang juga berprofesi sebagai Psikiater Omni Hospitals Serpong, Tangerang, menambahkan, ketika bepergian menggunakan mobil dan hendak membayar karcis TOL, secara otomatis kita harus membuka jendela. Di saat yang bersamaan pula, ada mobil yang lewat dan asapnya masuk ke dalam mobil kita, lalu tanpa disadari kita malah menutup seluruh kacanya dengan rapat.

“Intinya, tidak ada bukti yang pasti bahwa orangtua yang kaya lebih berisiko melahirkan anak dengan kondisi autisme,” kata Kresno melanjutkan.

Lanjut Kresno, kemungkinan besar yang membuat orang lain berujar seperti itu adalah karena memang orangtua yang hidup di kota jauh lebih concern dan cepat dalam penanganannya. Selain itu, setelah diketahui bahwa anaknya lahir dengan kondisi autisme, mereka tak sungkan membawa ke terapi lumba-lumba yang tergolong mahal. Atau justru, melakukan terapi di luar negeri.

“Padahal, terapi yang paling benar adalah terapi perilaku dan diet bebas gluten itu,” kata dia menekankan.(lp/sis)

Share