10 Akademis Kampus Tolak Amandemen UU Advokat

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Kalangan akademisi Fakultas Hukum dari 10 Universitas di Sumatera Utara sepakat menolak amandemen UU Advokat yang sedang dibahas di DPR RI. Mereka berasal dari Universitas Sumatra Utara, Universitas Medan Area, Universitas Dharma Wangsa, Universitas Nomensen, Universitas Dharma Agung, UMSU, Univa, Universitas Panca Budi, Universitas Andalas, dan Universitas Bung Hatta.

Guru Besar Universitas Sumatra Utara Prof DR. H. Syafruddin Kalo menegaskan pasal-pasal yang ada dalam amandemen UU Advokat sangat melemahkan kedudukan Advokat sebagai salah satu pilar penegakan hukum di Indonesia karena kedudukannya tidak sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

“Dalam amandemen UU tersebut dikatakan kedudukan Advokat adalah mintra kepolisian. Jelas ini melecehkan tugas dan peran mereka dalam penegakan hukum dan membela masyarakat lemah. Kalau sebagai Mitra apa bedanya dengan Banpol yang bisa disuruh-suruh oleh polisi,” katanya.

Menurut Syafudin, selain melemahkan kedudukan advokat, revisi tersebut juga akan menumbuhkan praktik advokat nakal di Indonesia karena tidak adanya standarisasi yang jelas mengenai kualitas ujian bagi calon advokat akibat mudahnya pendirian organisasi advokat.

“Mudahnya mendirikan organisasi advokat akan menyebabkan tidak adanya standarisasi profesi advokat. Untuk itu, wadah tunggal adalah harga mati yang tidak bisa ditawar,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, Anggota DPR yang juga Pansus Amandemen UU Advokat Harry Witjaksono mengaku akan menyampaikan masukan kalangan akademisi di Sumatera Utara tersebut dalam pembahasan Amandemen RUU itu.

“Kita serap apa yang menjadi aspirasi kawan-kawan akademisi di Sumatera Utara ini dan akan menjadi pertimbangan dalam membahas RUU Advokat ini. Namun jika tidak selesai dalam periode ini akan kita berikan catatan kepada Anggota DPR periode yang akan datang,” ujarnya.

Dekan Fakultas Hukum UGM Dr Paripurna SH dalam suratnya kepada DPR RI pada 2 Juli lalu, menyebutkan keberadaan organisasi advokat yang banyak akan menimbulkan praktik yang tidak sehat di dunia pengacara di Indonesia.

“Wadah tunggal organisasi advokat akan memudahkan proses audit dan pengawasan yang ketat terhadap praktik advokat di Indonesia. Hal itu bisa menguntungkan masyarakat dalam mencari keadilan,” ujar Paripurna.

Menurut dia, seorang advokat untuk bisa berpraktek di Indonesia harus melalui mekanisme pendidikan dan ujian terlebih dahulu yang dilaksanakan oleh organisasi tunggal advokat sehingga tidak menimbulkan standarisasi ganda.

“Pendidikan dan ujian bagi calon advokat itu sangat penting yang dilakukan oleh organisasi tunggal tidak banyak organisasi. Calon Advokat wajib melakukan magang terlebih dahulu,” tambah Paripurna.

Untuk Dewan Advokat, dia menilai keberadaan lembaga tersebut tidak diperlukan karena akan mengurangi independensi profesi Advokat. Meski demikian, Advokat tetap harus tunduk kepada hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini.

Di sisi lain Peripurna juga menyoroti tentang pola rekrutmen advokat. Menurutnya seorang advokat tidak boleh berasal dari mantan jaksa atau hakim. “Jika dari akademisi masih memungkinkan,” lanjutnya.(okz/don)

Share
Leave a comment