TRANSINDONESIA.CO – Staf Khusus Presiden Andi Arief mengritik, pernyataan Joko Widodo dalam debat terakhir, yang mengesankan bahwa kebijakan satu peta atau One Map Policy adalah murni idenya untuk mengatasi persoalan hutan. Andi menegaskan, kebijakan one map policy adalah produk Badan Informasi Geospasial, yang telah digarap sejak beberapa tahun terakhir. Dan itu atas ide dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Saya sedih, sebagai orang yang mengajukan diri pengganti SBY, Pak Jokowi dalam debat terakhir mengesankan one map policy adalah murni idenya. One map policy merupakan produk Badan Informasi Geospasial, ide besarnya SBY!” kata Andi seperti dikutipd ari laman politikindonesia, Selasa (8/7/2014).
Dalam debat capres-cawapres sesi terakhir yang diselenggarakan KPU, Jokowi menyatakan, tumpang tindih pengelolaan hutan karena pemerintah tidak mempunyai kebijakan satu peta. Jokowi seolah mengklaim one map policy merupakan ide besar dari dirinya untuk mengatasi tumpang tindih pengelolaan hutan, dan akan diterapkan jika kelak terpilih sebagai presiden. Padahal kenyataannya, upaya menuju kebijakan tersebut sudah digarap oleh pemerintahan SBY sejak beberapa tahun terakhir.
Andi Arief menjelaskan, kebijakan Satu Peta muncul pertama kali pada Rapat Kabinet 23 Desember 2010. Saat itu Presiden SBY mengatakan, “Saya ingin hanya satu peta saja sebagai satu-satunya referensi nasional!”
Dalam perkembangannya, tambah Andi, sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011, tugas-tugas terkait pembinaan dan pengintegrasian Informasi Geospasial Tematik diamanatkan kepada Badan Informasi Geospasial (BIG), yang pelaksanaanya diselenggarakan oleh lebih dari satu instansi pemerintah dan atau pemerintah daerah.
Dalam rangka melaksanakan aksi gerakan menuju Satu Peta Indonesia tersebut, pada tahun 2013 dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) Nasional Informasi Geospasial Tematik, yang terdiri dari 12 Pokja. Agar hasil kerja sub pokja dapat dirasakan oleh masyarakat luas antara lain sudah diselenggarakan Peluncuran One Map IGT Pemetaan Pesisir dan Laut.
Andi menyayangkan sikap Jokowi yang tak mau mengakui prestasi pemerintahan SBY dan mengesankan seolah ide dirinya yang paling hebat. Dalam catatan Andi Arief, sikap yang sama ditunjukkan Jokowi terkait penjualan Gas Tangguh.
Jokowi tak mau mengakui hasil renegosiasi harga jual Gas Tangguh hasil ikhtiar pemerintahan SBY yang kini mencapai US$12 per MMBTU. Padahal saat kontrak dengan Tiongkok dilakukan di masa Presiden Megawati Soekarnoputri, gas dari lapangan asal Papua itu dijual hanya di kisaran US$3 per MMBTU.
“Untuk kesekian kalinya Pak Jokowi tidak memberikan pendidikan ke rakyat, tidak mengapresiasi keberhasilan dan mengklaim ide milik orang lain,” tandas Andi Arief.(pi/yan)