Akibat pembakaran lahan, titik api semakin menyebar di Riau.(dok)
TRANSINDONESIA.CO – Menyusul ditemukannya kembali titik api di Riau, pemerintah langsung mengambil langkah cepat dengan melakukan audit kepatuhan (compliance audit). Demikian disampaikan Anggota Badan REDD+ dan UKP4 Mas Achmad Santosa, saat mengikuti rapat koordinasi Gahkarhutla dengan Gubernur, Kapolda dan Kajati, Dirjen Perkebunan, KLH, dan Kemenhut di Pekanbaru, pada 27 Juni lalu.
“Digelar audit kepatuhan (Compliance Audit),” kata Mas Achmad Santosa atau yang akrab disapa Ota.
Menurut Ota, dalam audit itu juga didapatkan hasil bahwa Gubernur Riau sepakat untuk segera melaksanakan audit kepatuhan bersama-sama dengan tim bersama K/L di bawah koordinasi UKP4 dan Badan REDD+. Pemda prov/Polda/Kejati akan menjadi bagian dari tim audit.
Selain itu, kata Ota, gubernur juga akan segera mengeluarkan surat ke pemda kabupaten atau kota dan perusahaan mengenai audit yang akan dilakukan dan meminta kerjasama mereka dalam pelaksanaannya.
“Untuk sementara waktu terdapat 18 perusahaan kebun dan hutan yang akan diaudit di berbagai kabupaten yang kerap kali ditemukan hot spots dan kebakaran hutan dan lahan,” kata Ota.
Aspek yang akan di audit adalah aspek sistem, aspek sarana dan prasarana dan SDM; dan aspek biofisik. Contohnya tingkat kerawanan lahan konsesi-semakin konsesi berada di lahan gambut dalam maka seharusnya persyaratan dan pengawasan terhadap kesiapan pencegahan dan penangulangan harusnya lebih ketat. Selain itu juga akan dilakukan pendataan dan verifikasi kepemilikan dan penguasaan lahan untuk memperjelas pertanggung jawaban hukum dan pengawasan.
“Untuk itu perlu dibentuk Timdu di tingkat pemerintah, baik nasional, provinsi, kabupaten maupun kota. BP REDD+ diharapkan untuk mendesain dan mendukung secara teknis program dimaksud,” ujar Ota.
Menurut Ota, pemprov telah menyediakan anggaran untuk pelaksanaan program ini. Pendataan ini perlu dilakukan guna mengetahui dan mencegah mereka yang melakukan pembakaran. Sebab kebakaran banyak terjadi di lahan-lahan ex HPH yang menjadi open access dan dikuasai oleh perambah yang merasa pendudukan lahan tersebut sah karena adanya “legalitas” dari kepala desa, lurah atau camat.
Ota menjelaskan, kebakaran juga terjadi di wilayah-wilayah konsesi yang dibiarkan “menganggur” dan wilayah tersebut akhirnya tidak dalam kekuasaan fisik pemilik izin konsesi. Keadaan-keadaan tersebut harus didata dan dipetakan bersama-sama dengan BPN Pusat.
“Kondisi demikian tidak bisa dibiarkan berlarut-larut sehingga perlu ada penertiban dan pembenahan. Pendataan dan verikasi lapangan merupakan langkah awal bagi penertiban tersebut,” pungkas Ota.(pi/ful)