Kenapa Media Besar Mainstream Tidak Dilaporkan?

obor-rakyat

TRANSINDONESIA.CO – Kasus beredarnya Tabloid Obor Rakyat dalam kampanye Pilpres 2014 menjadi bahan diskusi sejumlah aktivis, mahasiswa dan praktisi media Surabaya.

Diskusi Elemen Masyarakat dan Relawan RI-1 dengan tema ‘Pilpres 2014 dan Pembiaran Anarkhisme Media’ dihadiri narasumber Lutfil Hakim (praktisi media), Rosdiansyah (pengamat komunikasi politik), Petrus (aktivis Surabaya) dan Ismet Rama (LSM).

Dalam sesi pembukaan diskusi, Lutfil Hakim bertanya kepada peserta diskusi yang hadir, apakah pernah menerima Tabloid Obor Rakyat dan membacanya. Ternyata, seluruh peserta diskusi mengaku belum pernah sama sekali menerima dan membacanya.

“Saya pernah telpon ke Pemred Tabloid Obor Rakyat Setiyardi, dirinya mengaku mencetak 100 ribu eksemplar. Anggap saja 10 orang yang membaca 1 tabloid, berarti hanya 1 juta orang saja yang membaca. DPT pilpres 192 juta jiwa, artinya tidak sampai 0,5 persen pemilih yang membaca Obor Rakyat,” tegas Lutfil Hakim.

Menurut dia, pengaruh Tabloid Obor Rakyat seperti apa belum tahu seberapa besar, karena hanya sangat kecil masyarakat yang membacanya.

“Mengapa diributkan sampai besar, ada apa ini? Statusnya media Obor Rakyat ini seperti apa, apakah media resmi, media sosial atau memang bukan karya jurnalistik. Kalau dibenarkan sebagai tabloid resmi, pengelola dilindungi UU Pers dan yang dirugikan bisa minta hak jawab,” jelasnya.

Menurutnya, jika Dewan Pers sudah menyatakan Obor Rakyat bukanlah produk atau karya jurnalistik. Berarti, tabloid itu tidak dilindungi undang-undang apapun dan pengaruhnya sangat kecil.

“Kalau Obor Rakyat dipolisikan, mengapa media-media resmi yang besar dan mainstream di Indonesia tidak dipolisikan?,” tanyanya kepada peserta hadirin.

Ia melanjutkan, ini karena berdasarkan data survei sebuah lembaga, bahwa 81 persen masyarakat memperoleh informasi dari media resmi dan sisanya 19 persen melalui media sosial.

Sementara Rosdiansyah pengamat komunikasi politik menambahkan, dirinya mengusulkan kalau Tabloid Obor Rakyat dituding sebagai sarana black campaign dan dipolisikan, seyogyanya Facebook, Twitter dan media resmi lain yang juga harus dipolisikan. Karena, itu juga melakukan black campaign. “Ini supaya adil,” katanya.

Menurut dia, masyarakat saat ini bingung mana media yang benar-benar independensi dan netral dalam ajang pilpres. “Setiap media punya kepentingan dari capres tertentu, meskipun ada yang cover both side, ini disebut sebagai anarkisme media,” tandasnya.(beritajatim.com)

Share