Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent IMF.(ist)
TRANSINDONESIA.CO – Hulunya ada di Thailand. Pada Juli 1997, mata uang baht didevaluasi. Dolar jadi begitu perkasa. Seperti penyakit menular, penguatan nilai tukar dolar berimbas ke rupiah. Pada 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah melemah dari Rp2.575 menjadi Rp2.603 per dolar AS.
Perekonomian Indonesia mulai goyah. Sejumlah faktor yang melempangkan jalan ke keterpurukan adalah memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto, sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan, dan besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo.
Pada Desember 1997, Soeharto batal ke Iran karena alasan kesehatan. Rupiah melunglai, menembus angka Rp 4.000 per dolar. Isu lebih parah muncul: Soeharto meninggal dunia. “Nilai rupiah naik kembali ketika digambarkan Presiden dalam keadaan santai…” tulis jurnalis S. Sinansari ecip di Kronologi Situasi Penggulingan Soeharto.
Lalu, persoalan utang luar negeri membelit. Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 miliar dolar AS, 72,5 miliar dolar AS adalah utang swasta — sekitar 20 miliar dolar AS bakal jatuh tempo pada 1998. Celakanya, cadangan devisa hanya 14,4 miliar dolar AS.
Rupiah terus melemah. Ditutup pada level Rp4.850 per dolar AS pada 1997, meluncur tak terkendali menjadi Rp 17.000 per dolar AS pada pada 22 Januari 1998. Sepekan sebelumnya, pemerintah RI meneken Letter of Intent yang disodorkan International Monetary Fund (IMF). Di sana, ada 50 butir yang harus dikerjakan untuk memulihkan perekonomian.
Semua sudah terlambat. Ambruknya rupiah secara drastis menyebabkan pasar uang dan modal juga ambrol, bank-bank nasional dibekap kesulitan, surat utang pemerintah merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah. Harga-harga kebutuhan hidup terkerek naik.
Pada Januari 1998 juga, terjadi fenomena yang tak pernah terlihat sebelumnya. Yaitu, warga menimbun kebutuhan pokok. Mereka khawatir harga terus melambung dan tak terjangkau. “Dari beras sampai kertas tisu diborong habis,” tulis ecip.
Sektor riil terdampak. Ratusan perusahaan, mulai dari level UKM hingga konglomerasi, rubuh. Sektor yang paling terpukul adalah konstruksi, manufaktur, dan perbankan. Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi secara massif.
Pengangguran melesat ke garis yang belum pernah tercipta sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.
Pada 10 Maret 1998, Soeharto kembali terpilih sebagai RI 1. Ia telah menjadi presiden sejak 1967. Usianya menjelang 77 tahun. Di luar, ketidakpuasan atas kepemimpinannya merebak. Ide reformasi digulirkan. Terutama menyangkut sektor politik, hukum, dan ekonomi.
Sejak Februari 1998, mahasiswa turun ke jalan. Belum massal. Tapi, sudah menggulirkan isu suksesi kepemimpinan meski belum terlalu lantang. Di masa itu, bicara soal suksesi sama saja mengundang aparat keamanan untuk bertindak.
Aksi-aksi mahasiswa memasuki babak baru pada Mei 1998. Digelar di banyak kota. Kalau sebelumnya hanya diikuti puluhan orang, kini ratusan (bahkan ribuan) mahasiswa turun dalam satu kesempatan. Lalu, tragedi Trisakti pada 12 Mei meletus di Ibukota Jakarta.(lp6/sof)