TRANSINDONESIA.CO – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru, Riau, bersama Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) bakal menggelar diskusi soal kekerasan terhadap wartawan di Indonesia disertai pemutaran film dokumenter berjudul “Kubur Kabar Kabur”.
“Acara diadakan Selasa (13/5/2014), pukul 09.00-12.00 WIB, di Ruangan Chevron Corner Lantai IV, Gedung Perpustakaan Wilayah Provinsi Riau,” kata Ketua AJI Pekanbaru, Fakhrurrodzi lewat surat elektronik, diterima Minggu (11/5/2014) malam.
Dalam sesi diskusi, dibahas persoalan kekerasan terhadap wartawan, menghadirkan tiga pembicara, yakni wartawan senior Kompas Syahnan Rangkuti, Ketua AJI Pekanbaru Fakhrurrodzi, dan Ketua Forum Advokasi Pers Riau (Fapers), Mayandri Suzarman.
Ketua AJI Pekanbaru, Fakhrurrodzi, mengatakan, diskusi kekerasan terhadap jurnalis penting dilakukan untuk meningkatkan pemahaman bagi masyarakat umumnya atau wartawan khususnya, bahwa profesi wartawan juga diatur undang-undang.
Namun sejauh ini, menurut dia, UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 sebagai dasar hukum perlindungan terhadap jurnalis, belum mampu seutuhnya melindungi wartawan.
Hal itu, kata dia, terbukti banyak kasus kekerasan terhadap wartawan diabaikan begitu saja. Beberapa kasus dapat disaksikan dalam film “Kubur Kabar Kabur” yang nanti diputar.
“Kami bersama LBH Pers mengajak para undangan baik dari kalangan Penegak Hukum, Humas, Pers Mahasiswa maupun para jurnalis untuk berdiskusi menyatukan persepsi agar wartawan dapat menjalankan tugasnya dengan nyaman sebagai pilar keempat dalam kenegaraan sebagai kontrol sosial,” katanya.
Rodzi mengatakan, AJI juga menginginkan kasus kekerasan terhadap wartawan menjadi perhatian, penyelesaian kasus hingga ke pengadilan, atau wartawan lebih memahami proses hukum jika terjadi kekerasan terhadap dirinya.
Direktur Eksekutif LBH Pers Jakarta Nawai Bahrudin mengatakan Film “Kubur Kabar Kabur”, diproduksi atas kerja sama LBH Pers Jakarta bersama Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Watch Doch serta Yayasan Tifa.
Film ini, menurut dia, menceritakan kasus kekerasan terhadap wartawan di Indonesia yang hingga kini masih terus terjadi.
Dari beberapa kasus tersebut, lanjutnya, dua kasus paling fenomenal diangkat dalam film ini yakni kasus kekerasan terhadap wartawan lokasl asal Riau, Didik Herwanto oleh oknum TNI AU ketika meliput pesawat jatuh di Pekanbaru.
Film ini menceritakan suatu keberhasilan advokasi hingga ke pengadilan, sehingga pelaku kekerasan terhadap wartawan akhirnya divonis tiga bulan penjara.
Kasus kedua, kata dia, pembunuhuan wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syarifudin alias Udin, hampir 18 tahun kasus ini mangkrak.
“Hingga kini belum juga ditemukan siapa pelaku sesungguhnya untuk dibawa ke pengadilan,” katanya.
Sementara itu, kata Nawawi, di tengah banyaknya kasus yang belum ditangani, pemerintah terkesan mengabaikan kasus yang tidak terungap.
“Hal ini terbukti, kasus tersebut tidak menjadi perhatian sedikit pun pada perayaan Hari Pers Nasional. Perayaan Hari Pers Nasional dilakukan sekadar seremoni dengan pemberian gelar kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Sahabat Pers,” ujarnya.(ant/sof)