TRANSINDONESIA.CO – Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (PBHI) Sulawesi Selatan menilai Kejaksaan Tinggi setempat tidak profesional dan tebang pilih dalam penanganan perkara korupsi.
“Kejati seakan tidak pernah mempedulikan kritikan masyarakat terkait penanganan perkara-perkara korupsi dan bahkan penyidik kejaksaan sekarang lebih tertutup jika dimintai tanggapan mengenai kasus korupsi,” jelas Ketua PBHI Sulsel, Wahidin Kamase di Makassar, Sabtu (26/4/2014).
Ia mengatakan, harusnya penyidik kejaksaan lebih terbuka kepada masyarakat dan menyampaikan perkembangan informasi mengenai sejumlah perkara yang tengah diselidikinya.
Salah satu kasus yang harusnya dibuka mandeknya kasus dugaan korupsi pada proyek pengadaan sarana dan prasarana di Kabupaten Jeneponto dan Bantaeng.
Menurutnya, kasus dugaan korupsi yang ditangani oleh Kejati Sulsel tidak boleh dihentikan tanpa alasan yang jelas dan harus ditindaklanjuti karena bukti-bukti awal telah cukup.
“Kami heran, kadang-kadang ada juga kasus yang mau diekspose Kejati Sulsel, ada juga yang tidak mau diungkap. Seperti kasus Alkes RS Daya, dengan tersangka dr Zainab, kok tiba-tiba di-ekspose sedangkan penanganan kasus korupsi lain seperti kasus dugaan korupsi sarana dan prasarana ini, pihak Kejati terkesan menyembunyikannya. Kira-kira ada apa,” tanyanya.
Menurut Wahidin, publik juga pasti bertanya-tanya dengan sikap Kejati Sulsel yang terkesan tebang pilih. Kasus yang jumlahnya puluhan dan ratusan juta pasti cepat diekspose sementara kasus yang kerugian negaranya mencapai miliaran rupiah terkesan disembunyikan.
Hal serupa diungkapkan, Anti Corruption Committe yang menilai jika Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dalam menangani perkara dugaan korupsi tidak bersikap profesional dan cenderung tebang pilih.
“Kalau melihat dan mengamati sejumlah perkara korupsi yang ditangani kejati itu, penyidik seperti tebang pilih kasus yang mana mau dilimpahkan dan mana yang dibiarkan menggantung,” jelas Staf Badan Pekerja ACC, Kadir Wokanubun.
Ia mengatakan, penilaian akan tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi itu dikarenakan banyaknya kasus yang ditangani kejaksaan tidak mempunyai kejelasan alias menggantung.
Sedangkan perkara korupsi yang tidak melibatkan pejabat daerah maupun nilai kerugian yang kecil mendapat perhatian yang serius, sehingga wajar jika muncul penilaian tebang pilih kasus tersebut.
“Sederhana saja kalau mau mengetahui tebang pilih atau tidak, kita lihat saja beberapa perkara korupsi yang nilai kerugiannya kecil hanya puluhan juta hingga ratusan, sedangkan kasus yang nilai kerugiannya miliaran itu justru awet di meja penyidik,” katanya.
Dia mencontohkan, kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (Alkes) Rumah Sakit Umum (RSU) Daya Makassar yang nilai kerugiannya hanya sekitar Rp800 juta tidak menunggu waktu yang lama akhirnya rampung dan sudah memasuki tahap penuntutan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.(ant/sul)