DPR Dukung Tuna Netra Tolak Pendamping Dipencoblosan

riekeRieke Diah Pitaloka.(dok)

 

TRANSINDONESIA.co, Jakarta : DPR RI desak KPU untuk merespon keinginan kaum penyandang cacat tuna netra atau kaum difabel untuk memilih secara langsung tanpa didampingi panitia pemungutan suara dalam menentukan hak pilihanya.

Untuk mengikuti keinginan kaum difabel tuna netra itu, KPU harus tetap menyediakan alat bantu penyediaan ‘template braile’ bagi pemilih tuna netra yang jumlah cukup banyak diseluruh Indonesia, hinga mencapai  1.754.689 jiwa.

“Saya mendukung penyandang cacat itu menggunakan hak pilihnya secara langsung tanpa pendampingan, kecuali yang memang membutuhkannya karena tidak bisa melakukan sendiri. Masih ada waktu untuk menyiapkan ‘tempale barile’ itu. Apalagi itu, hak konstitusional, maka KPU harus merespon,” tegas Wakil Ketua Komisi II DPR RI Arif Wibowo, yang didampingi anggota Komisi IX DPR RI Rieke Diah Pitaloka dan beberapa penyandang tuna netra di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (6/3/2014).

Arif Wibowo berjanji akan menyampaikan aspirasi penyandang tuna netra tersebut ke KPU, dan meminta KPU untuk segera merespon.

“KPU harus menyiapkan kelengkapan yang dibutuhkan, agar hak-hak politik kaum tuna netra ini tidak terdistorsi dalam pemilu, dan jangan sampai disalahgunakan orang-orang yang tak bertanggung jawab,” kata Rieke.

Hendar, yang mewakili penyandang tuna netra dari Ikatan Tuna Netra Muslim Indonesia (ITMI) menegaskan, dirinya dan teman lainnya menolak pendampingan karena tidak sesuai haknya yang harus memberikan pilihan hanya dirinya sendiri yang tahu. Selain itu sudah tidak sesuai dengan asas langsung, umum, bebas dan rahasia (Luber).

“Jadi, kalau KPU mengabaikan alat bantu itu berarti telah mencabut hak-hak politik kami, dan berarti matilah demokrasi ini. Untuk itu kami berharap kematian itu bangkit kembali,” ujarnya.

Dalam pernyataan sikapnya ‘Forum Tuna Netra menggugat’ yang dibacakan oleh Rieke terdapat 5 poin penting;

1. Keputusan KPU yang tidak menyediakan tempale braile bagi tuna netra menunjukkan inkompetensi KPU dalam menyelenggarakan pemilu sejalan segenap peserta pemilu dalam hal ini kaum difabel.

2. Kami melihat krisis profesionalsime KPU yaitu terdapat perbedaan pandangan KPU Pusat dan KPU daerah mengenai penyediaan tempale braile dalam pemilu.

3. Kami menolak putusan KPU yang menyediakan pendampingan karena melanggar asas pemilu itu sendiri, yang justru bisa diarahkan ke partai tertentu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

4. Kami memandang keputusan KPU diskriminatif dan tidak mencabut paksa hak kewarganegaraan kami, dan

5. Penyediaan tempale braile pada pemilu 2014 merupakan harga mati.

“Atas poin itu, dan saya pikir sebagai hal yang essensi dan masuk akal, maka kami bertekat mengumpulkan dukungan dan menempuh semua metode perjuangan baik gerakan moral maupun melalui proses hukum yang berlaku,” pungkas Rieke. &n (das/das)

Share
Leave a comment