Korupsi di Indonesia Semakin Parah, DPR Masih Diurutan Pertama

korupsi semakin parah

 

TRANSINDONESIA.CO, Jakarta – Transparency International Indonesia (TII) meluncurkan hasil survei mengenai persepsi pemilih pemula pada pemerintah, korupsi, dan Pemilu nasional 2014 pada Rabu (26/3/2014) di Hotel the Sultan Jakarta.

Menurut hasil survei mengenai korupsi, mayoritas responden menganggap korupsi di Indonesia pada tahun 2013 lebih buruk kondisinya dari tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, sebanyak 45 persen atau mayoritas responden menyatakan tidak puas akan upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi korupsi.

Dari sejumlah institusi penyelenggara kepentingan publik, lembaga legislatif DPR dipersepsikan sebagai lembaga paling korup (skor 4,3), kemudian berturut-turut partai politik (3,8) dan polisi (3,8). Sisanya terbagi ke berbagai lembaga lain seperti kejaksaan, pegawai negeri, sektor swasta, pendidikan, pelayanan kesehatan, LSM/Ormas, media, TNI, dan organisasi keagamaan.

Mengenai demokrasi, dalam hasil survei tersebut terlihat hanya 1 persen pemilih pemula yang merasa sangat puas dengan demokrasi di Indonesia saat ini, 42 persen merasa cukup puas, 51 persen merasa kurang puas, dan 6 persen merasa sangat tidak puas.

Untuk intensi menggunakan hak suara, 63 responden menyatakan akan ikut pemilih, 8 persen menyatakan tidak akan menggunakan suaranya dan 29 persen menyatakan belum memutuskan.

Trans Global

Panggung Sandiwara

Soal Sampah Jakarta

Sedangkan mengenai kesukaan terhadap partai poltik yang mengikuti Pemilu nanti, 15 persen menyatakan suka dengan PDI Perjuangan, masing-masing 8 persen menyukai Gerindra dan Demokrat, 7 persen menyukai Hanura, dan 6 persen menyatakan rahasia.

Namun sayangnya mayoritas responden atau sebanyak 34 persen menyatakan tidak suka akan partai politik yang ada.

Hal ini bisa menjadi bukti bahwa para pemilih pemula muda masih belum mendapatkan pendidikan dan pengetahuan politik yang cukup sehingga tidak merasa tertarik pada partai politik.

“Respon anak muda yang cenderung apatis jangan-jangan bukan merupakan pilihan mereka, namun dikarenakan sistem yang ada. Mereka tidak terakomodasi kebutuhannya karena para lembaga demokrasi tidak menyiapkan ruang untuk belajar politik,” ujar Pangeran Siahaan, aktivis AyoVote sekaligus pembicara dalam diskusi hasil survey tersebut.

Survey ini dilaksanakan pada 9-22 Februari 2014 lalu dan responden dalam survey ini adalah para pemilih pemula yang berusia 17-21 tahun yang tinggal di Jakarta. Dari 1000 kuesioner yang disebar yang kembali dan layak diolah adalah 993 orang.

“Anak muda bukan tempelan dan merupakan aktor penting dalam Pemilu, survey ini bisa dikatakan sebagai wake up call agar mereka kritis dan berpartisipasi dalam Pemilu,” ujar Lia Toriana, Kepala Departemen Youth TII.(bs/fer)

 

Share