Topeng Bopeng Demokrasi

TRANSINDONESIA.CO –  Kebebasan yang sebebas-bebasnya, bebas apa saja, apakah ini demokrasi? Tentu bukan!

Demokrasi dibangun melalui adanya civil society, yaitu adanya wadah-wadah representatif dari para pemangku kepentingan yang cukup kuat untuk menjadi menyeimbangkan dan melakukan fungsi kontrol terhadap kinerja pemerintah dan aparaturnya.

Demokrasi merupakan kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Maknanya, rakyat yang berdaulat atas segala kekuasaan, kewenangan, dan penggunaan sumber daya yang ada untuk kesejahteraan rakyatnya.

Ilustrasi

Negara yang demokrasi memiliki cici-ciri: (1) tegaknya supremasi hukum; (2) mampu memberikan jaminan dan perlindungan HAM; (3) transparan; (4) akuntabilitas kepada publik; (5) berorientasi kepada upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat; dan (6) terlaksana  pengawasan dan pembatasan kewenangan, termasuk militer (under civilian control).

Namun, demokrasi tidak jarang dijadikan topeng dan topengnya pun menjadi bopeng karena muncul dan kuatnya otoritarian yang memaksakan, menerapkan manajemen konflik, dan pengadu-dombaan. Akibatnya adalah keenam butir di atas terus saja diabaikan dan hanya dijadikan slogan-slogan semata tanpa roh untuk implementasinya.

Hukum menjadi apa yang dikatakan berdasarkan kehendak yang berkuasa: “Siap grak..! Maka terwujudlah keadilan dan kemanusiaan”. Hal ini terjadi pada era otoritarian dan model-model komunis dengan slogan keadilan sama rata sama rata. Semua sumber daya adalah milik negara dan dengan partai tunggal yang berkuasa.

Keadilan yang terpaksa dan dipaksakan adalah “keadilan tanpa rasa keadilan”. Bukan kesadaran yang diutamakan, melainkan ancaman, hukuman, hingga siksaan sebagai cara yang dipilih menegakkan dan memelihara keteraturan. Demokrasi demikian bagaikan model kerbau dicocok hidungnya.

Apa kata ndoro-nya pasti sendiko dhawuh, pokoknya ndoro is the best. Kaum bolo duphak hanya bertugas untuk patuh dengan cium tangan tanpa boleh bertanya atau protes.[CDL]

Share
Leave a comment