Pengamat Kamnas: Tak Elok Membanding TNI – Polri, Ada Apa Dengan Dradjat Wibowo?

TRANSINDONESIA.CO – Tergelitik dengan pernyataan Dradjat Wibowo, seakan-akan POLRI tidak berhak menggunakan senjata, dengan pertimbangan pasal dan ayat dalam UU Kepolisian, yang menurutnya tidak ditemukan satu ayat atau bahkan kalimat yang menyatakan anggota kepolisian “dipersiapkan dan dipersenjatai”.

Sementara dalam UU TNI, jelas disebut dalam Pasal 1 butir 21 bahwa “Tentara adalah warga negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata.” kata Dradjad kepada Republika, Kamis (5/10).

Dradjad membanding-bandingkan dengan mengulas batang tubuh dan penjelasan di UU TNI, dikatakannya banyak sekali ditemukan kata senjata. Misalnya ancaman bersenjata, pemberontakan bersenjata, dipersenjatai, teror bersenjata, dan sebagainya. Selain itu, banyak terdapat kata/frasa militer dan operasi militer.

Ditambahkan Dradjat bahwa kedua Undang-Undang (UU TNI dan UU POLRI )  tersebut senjata memang wilayah/domain TNI. “Saya tidak katakan “wewenang TNI”, karena UU TNI tidak memiliki satu Bab atau Pasal yang mengatur wewenang TNI. Yang ada hanyalah Peran, Fungsi dan Tugas,” imbuhnya.

Persenjataan Polisi negara lain.[IST]
Sungguh disayangkan, Polemik dan kegaduhan semacam ini terus dihembuskan dan dijadikan konsumsi publik…!!!.

Menurut Muradi, Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, Bandung bahwa Basis pijakan analisis Dradjat Wibowo hanya bersumber dari UU No. 2/2002 yang tidak secara eksplisit menegaskan pemanfaatan senjata api dalam penegakan hukum. Padahal, jika dibaca lebih jauh, tugas dan fungsi dari Polri sebagaimana dijelaskan dalam UU Polri khususnya Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 5 memiliki cakupan yang luas dalam konteks keamanan dalam negeri.

Penegasan dari hal tersebut berimplikasi pada pemenuhan persenjataan untuk polri dengan kategori senjata melumpuhkan, dalam memastikan terselenggaranya keamanan dan ketertiban oleh Polisi umum, Reskrim, Polantas dan juga intelijen keamanan.

Sementara penggunaan senjata standar militer terbatas, yang berkaitan dengan ancaman keamanan dalam negeri dengan intensitas tinggi seperti terorisme, gangguan kelompok bersenjata, serta penyelenggaraan tertib sosial sebagai bagian dari efek konflik sosial yang berkembang, yang mana Brimob Polri dan juga Densus 88 AT menjadi unit di Polri yang bertanggung jawab untuk hal tersebut.

Penggunaan senjata oleh polisi untuk pelaku kejahatan, harus dipandang sebagai upaya melindungi hak hidup masyarakat secara keseluruhan sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia.

Tindakan yang mengancam hidup polisi sebagai penegak hukum, harus dilihat sebagai ancaman terhadap stabilitas masyarakat secara keseluruhan, mengingat aparat penegak hukum memiliki peran penting dalam perlindungan hak hidup, kebebasan dan keamanan orang.

Oleh karena itu, polisi berhak menggunakan senjata, namun yang bersifat melumpuhkan, sehingga dalam pelaksanaannya polisi menggunakan senjata laras pendek. Akan halnya Brimob dan juga Densus 88 AT adalah masuk kualifikasi para-militer, sehingga senjatanya bisa menggunakan laras panjang.

Tidak berhenti soal persenjataan, tapi konsep perbantuan sebagai jawaban solutif yang ditawarkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang didorong oleh Imparsial, dipertanyakan juga oleh Dradjat Wibowo bahwa masih terdapat kerancuan yang serius dalam hal tugas perbantuan TNI kepada Polri, papar politikus PAN tersebut.

Apakah pernyataan Dradjat Wibowo diatas merespon Realise Pers (4/10/2017) dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (IMPARSIAL, ELSAM, KontraS, YLBHI, LBH Jakarta, HRWG, LBH Pers, PBHI, SETARA Institute, ICW) yang isinya diantaranya bahwa undang-undang tentang tugas perbantuan militer dengan memasukkan agenda pembentukan RUU tugas perbantuan militer ke dalam prolegnas sebagai landasan hukum TNI dalam menjalankan fungsi Operasi Militer Selain Perang (OMSP), wallahuálam,,?

Dalam kaitannya dengan tugas perbantuan militer dalam operasi militer selain perang seharunya pemerintah dan DPR perlu segera membuat undang-undang tentang tugas perbantuan militer bukan membiarkan Panglima TNI dan kementerian serta instansi lain membentuk berbagai macam MoU.

Hal ini sesuai dengan mandat UU TNI Pasal 7 ayat 2 (10); TAP MPR pasal 4 ayat 2; dan UU Polri Pasal 41. Ketiga regulasi tersebut mengamanatkan agar pemerintah membuat aturan tentang tugas perbantuan militer dalam kerangka OMSP pada tingkat UU ataupun PP.

Kenapa..? Koaisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi sektor Keamanan menilai pelibatan militer dalam operasi militer selain perang yang di dasarkan pada MoU TNI bertentangan dengan UU TNI no 34/2004. Pasal 7 ayat 3 UU TNI secara tegas menyebutkan bahwa pelaksanaan tugas operasi militer selain perang harus di dasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara dan bukan melalui MoU.

Keputusan politik negara yang dimaksud adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama dewan perwakilan rakyat (DPR) yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dengan DPR, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Penjelasan Pasal 5 UU TNI). Dengan demikian, beberapa MoU yang sudah dibuat jelas-jelas bertentangan dengan UU TNI no 34/2004.

Dengan dibentuknya berbagai MoU yang berlebihan itu maka kini TNI sudah kembali masuk dalam ranah wilayah sipil dan terlibat langsung dalam menjaga keamanan dalam negeri. Dalam beberapa kasus, TNI sudah kembali terlibat dalam aksi penggusuran, pengamanan stasiun, pengamanan kawasan industri, terlibat dalam konflik agraria dan kasus-kasus lainnya.

Atas dasar MoU TNI dan Kementrian Pertanian misalnya, proyek cetak sawah yang menghabiskan anggaran APBN triliunan rupiah bermasalah dan rentan terjadi intimidasi terhadap petani sebagaimana dilaporkan oleh Ombudsman RI.

Persenjataan

Pengamat Keamanan Nasional (Kamnas), Urip Selamet, menegaskan bahwa Indonesia mengakui Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) pada 23 Oktober 1985.

Ditambahkan Urip, bahwa Konvensi itu disahkan pada 27 Nopember 2006 melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1998. Dengan demikian, jelas bahwa penggunaan senjata oleh aparat Polri telah diatur oleh UU.

Dalam konteks penyelenggaraan penegakan hukum secara universal, telah diatur dalam Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum, yang diadopsi dari Kongres ke-9 PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Pelaku Kejahatan di Havana Kuba tahun 1980.

Prinsip-prinsip Dasar PBB tersebut bahwa keberadaan penegak hukum dan institusinya memiliki konsekuensi dalam menjalankan peran dan fungsinya. Prinsip non-kekerasan tetap menjadi rujukan bagi para aparat penegak hukum, namun dimungkinkan bahwa aparat penegak hukumnya harus dipersenjatai dengan senjata yang melumpuhkan dan pada situasi tertentu juga dimungkinkan menggunakan senjata api.

Meningkatnya ancaman keamanan secara signifikan dan menguatnya ancaman keselamatan diri dari para penegak hukum, menjadi penekanan yang menjadi rujukan organisasi kepolisian di dunia, termasuk juga Polri.

Hak-Hak Sipil dan Politik

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), Pasal 5 menyatakan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok, atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan manapun yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang ditetapkan dalam Kovenan ini.

Pasal ini juga melarang dilakukannya pembatasan atau penyimpangan HAM mendasar yang diakui atau yang berlaku di negara pihak berdasarkan hukum, konvensi, peraturan, atau kebiasaan, dengan dalih bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut atau mengakuinya tetapi secara lebih sempit.

Pasal 6 sampai dengan Pasal 27 menetapkan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum, dan bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang (Pasal 6); bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat (Pasal 7); bahwa tidak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang (Pasal 10); dan bahwa tidak seorang pun boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya (Pasal 11).

Kewajiban Negara Terhadap HAM

Secara hukum, negara merupakan pihak yang berkewajiban untuk melindungi (protect), menjamin (ensure) dan memenuhi (fulfill) HAM. Mengapa demikian? Karena, negara merupakan pihak yang memiliki kekuasaan (power).

Dalam kaitannya dengan HAM negara dituntut untuk tidak menyalahgunakan kekuasaannya (abuse of power). Pengertian negara di sini, mencakup tidak saja pemerintah (eksekutif), tetapi juga legislatif dan yudikatif. Termasuk di dalamnya adalah seluruh aparatur negara/aparat penegak hukum.

Kewajiban negara menyangkut HAM secara internasional diatur dalam berbagai instrument hukum HAM internasional, antara lain, seperti dalam UDHR, ICCPR dan ICESCR yang telah disebut sebelumnya, Konvensi Anti Penyiksaan (Convention against Torture/CAT). Adapun di tingkat nasional, kewajiban negara menyangkut HAM diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional, misalnya dalam konstitusi dan undang-undang.

Secara konkrit kewajiban negara menyangkut HAM diwujudkan dengan melindungi HAM setiap individu dari penyalahgunaan kekuasaan negara, menjamin eksistensi HAM setiap individu dalam ketentuan hukum maupun di dalam pelaksanaannya dan memenuhi HAM setiap individu. Misalnya terhadap hak untuk tidak disiksa (right not to be tortured), negara harus membuat aturan hukum yang melarang praktik-praktik penyiksaan untuk melindungi setiap individu dari tindak penyiksaan.

Negara harus  menjamin  bahwa setiap individu harus benar-benar bebas dari tindak penyiksaan. Negara juga harus benar-benar  memenuhi hak untuk tidak disiksa secara nyata.[MKS]

Share
Leave a comment