Pembubaran Ormas: Perbuatan Hukum atau Politik?

TRANSINDONESIA.CO – Ormas Islam dibubarkan? Ops, tunggu dulu. Pemerintah jangan tergopoh dan seperti tak hiraukan aturan hukum positif. Publik juga tak mudah begitu saja menerima warta dari media tanpa periksa.

Jangankan Ormas domestik, yang diakui punya peran dalam perjuangan kemerdekaan, Ormas asing sekalipun, tatkala sah menjadi Ormas, tak bisa begitu saja Pemerintah keluarkan siaran pers atau surat membubarkan Ormas. Ormas itu entitas yang bukan hanya kerumunan yang tak  diikuti dan tak berperan dalam berbangsa dan bernegara.

Mengapa demikian? Sebab, Ormas bukan hanya organisasi tetapi personifikasi daulat masyarakat sipil. Jika hendak menindak Ormas, mesti melalui tahap dan prosedur hukum yang pasti, tak bisa langsung-langsung begitu saja.

HTI dibubarkan.

Merujuk tahap dan prosedur itu, mesti jelaskan dulu apa hasil telaah dan pengawasan Pemerintah. Sudahkah ada peringatan dan sanksi?  Hal itu perlu diketahui publik agar tak ada spekulasi dan syak wasangka.

Jangan pula mendadak sontak Pemerintah mengeluarkan pernyataan tanpa menjelasan apa “raport merah” Ormas yang dimaksudkan? Lagi-lagi, publik berhak tahu. Jika tak dijelaskan, yang beredar hanya asumsi yang simpang siur.

Jika ditanya pembubaran Ormas masuk kualifikasi perbuatan apa? Periksalah UU Keormasan, yang mengatur hal ikhwal pengawasan, sanksi dan larangan bahkan prosedur pembubaran Ormas.

Kua juridis, ketentuan UU Ormas dan PP Ormas malah menyamaratakan atau tidak membedakan antara Ormas domestik dengan Ormas asing. Padahal logis dan rasional  jika kepada Ormas asing diterapkan  pengawasan dan pengendalian yang teliti dan khusus. Itu soal hukum yang lain lagi.

Wajar jika ada pertanyaan, mengapa Ormas domestik yang sah dan berbadan hukum  disoal?  Kalau hendak disoal, apa kelakuan atau kegiatan atau pandangan Ormas yang terpersoalkan?

Publik berhak tahu apakah itu berbasis fakta dan telaah hukum yang valid secara juridis? Seperti apa perbuatan Ormas yang disoal tentu harus diuji kesahihannya. Atau, itu hanya gap komunikasi dengan Pemerintah dalam memahami aspirasi dan pendapat. Tiap yang berbeda pendapat dengan Pemerintah belum tentu bermasalah kua juridis formal dalam telaah UU Keormasan.

Dalam era keterbukaan, Pemerintah mesti menjelaskan bahkan lebih dari itu mencerdaskan masyarakat. Mencegah simpang siur dan syak wasangka yang geraknya sangat cepat disergap netizen. Itu tugas Pemerintah mulia menciptakan situasi kondusif.

Kua juridis, sekali Ormas domestik maupun asing sudah didirikan dan disahkan Pemerintah, adalah sulit untuk membubarkannya seetika begitu saja. Karena ada prosedur hukum dan masuk domein judikatif alias kekuasaan peradilan.

Sebab itu, mesti melewati proses hukum yang panjang yakni: (1) diajukan ke pangadilan oleh kejaksaan; dan (2) hanya atas permintaan Menteri Hukum dan HAM; (3) itupun dengan syarat lebih dulu dijatuhi sanksi administratif oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah [vide Pasal 70 UU Ormas].

Publik berhak dicerdaskan bahwa pembubaran Ormas tak bisa dengan begitu saja, karena itu wewenang Pengadilan.

Jika hanya mengambil langkah pembinaan, bahkan menjatuhkan sanksi, tentu dilakukan dalam koridor hukum bukan non hukum.

Pun demikian, pembubaran Ormas adalah perbuatan hukum dan karenanya kudu sesuai hukum, bukan perbuatan non hukum apalagi indikatif alasan  kekuasaan. Atau naif karena kesenjangan komunikasi dan keliru menafsirkan pandangan.

Sekali lagi, ikhwal pembinaan, sanksi dan pembubaran Ormas adalah urusan hukum dengan telaah hukum, dengan prosedur hukum yang diatur dengan hukum pula.

[Muhammad Joni, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)]

Share
Leave a comment