Realisasi Penuh Hak-Hak Anak: Itu Kewajiban Negara atau Hadiah Harapan? (4)
TRANSINDONESIA.CO – Hak anak (child rights) adalah hak asasi manusia (human rights). Meraka bukan manuia “kelas dua” sehingga tak tepat urusan perlindungan hak anak dinomorduakan atau seakan dianggap “HAM Kelas Dua”.
Walaupun dalam teks hukum dijamin hak-hak anak atas hidup dan kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan, dan partisipasi, namun, ironisnya masih kasat mata dan vulgar anak-anak dihantam kekerasan, dihisap eksploitasi (ekonomi dan seksual), berkonflik hukum, dan berbagai situasi darurat.
Semenjak 1990 Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak dan memiliki tahun 2002 disahkan UU Perlindungan Anak, tetapi mengapa derita anak sang “putra putri kehidupan” itu masih kentara di negeri ini.
Akankah teks hukum yang lunglai atau perkakas Negara tidak efektif bekerja? Dalam suasana Hari HAM 10 Desember dan Hari Anak Universal 20 November, TRANSINDONESIA.CO menurunkan serial tulisan bertitel “Realisasi Penuh Hak-hak Anak: Itu Kewajiban Negara atau Hadiah Harapan?” yang disiapkan Muhammad Joni, yang berprofesi advokat dan aktif dalam ikhtiar perlindungan anak di Indonesia.
Non Diskriminasi Prinsip Pertama
Dalam KHA, ada 4 (empat) prinsip dasar yang kemudian dirumuskan utuh dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”). Prinsip-prinsip umum (general principles) KHA yang kemudian diserap masuk sebagai prinsip-prinsip dasar dalam UU Perlindungan Anak tersebut, yakni:
Non diskriminasi (nondiscrimination), Kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child), Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan (rights to life, survival and development), dan Penghargaan terhadap pendapat anak (respect to the view of the child).
Alinea pertama dari Pasal 2 KHA menciptakan kewajiban fundamental negara peserta (fundamental obligations of state parties) yang mengikatkan diri dengan KHA untuk menghormati dan menjamin (to respect and ensure) seluruh hak-hak anak dalam konvensi ini kepada semua anak dalam semua jurisdiksi nasional dengan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.
Prinsip nondiskriminasi ini diartikulasikan pada umumnya konvensi dan atau instrumen internasional HAM, seperti Universal Declaration of Human rights, International Covenant on Civil and Political Rights, and Covenan on Economic, Social and Cultural Rights, Convention on Elimination of All Form Discriminartion Against Women (CEDAW).
Beberapa konvensi HAM mengartikan diskriminasi sebagai adanya pembedaan (distiction), pengucilan (exclusion), pembatasan (restriction) atau pilihan/pertimbangan (preference), yang berdasarkan atas ras (race), warna kulit (colour), kelamin (sex), bahasa (language), agama (religion), politik (political) atau pendapat lain (other opinion), asal usul sosial atau nasionalitas, kemiskinan (proverty), kelahiran atau status lain.
Prinsip nondiskriminasi yang terdapat pada berbagai konvensi internasional mengindikasikan pemahaman bahwa kerapkali diskriminasi dalam setiap aspek dan kelompok manusia, termasuk anak-anak.
Perlu digarisbawahi kemungkinan terjadinya diskriminasi anak yang membutuhkan perlindungan khusus, anak tidak beruntung atau kelompok anak-anak yang beresiko, misalnya anak cacat (disabled children), anak pengungsi (refugee children).
Pasal-pasal tertentu KHA menyediakan bentuk-bentuk perlindungan khusus bagi anak yang cenderung mengalami diskriminasi. Sebab, diskriminasi adalah akar berbagai bentuk eksploitasi terhadap anak.
Acuan terhadap rumusan diskriminasi dapat pula dikutip dari Pasal 1 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang memberikan definisi atas “racial discrimination”, sebagai berikut: “any distinction, exclusion, restriction or preference base on race, colour, descent or national ethnic origin wich has the purpose or effect of nullifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise, on an equal footing, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural or any other field of public life”.
Dalam hukum nasional, pengertian diskriminasi yang konruen dengan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi diserap ke dalam Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”).
Dalam hal peradilan anak, United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice yang dikenal dengan “Beijing Rules”, juga memuat prinsip nondiskriminasi dalam peradilan anak.
Berdasarkan Peraturan Nomor 2 ayat 1 Beijing Rules disebutkan bahwa standar peraturan minimum diterapkan pada anak-anak pelanggar hukum (juvenile offenders) secara tidak memihak (impartially), tidak dengan pembedaan dalam segala bentuknya, misalnya ras, warna kulit, kelamin, bahasa, agama, politik dan pendapat lain, asal kebangsaan, atau kewarganegaraan, harta benda kekayaan (property), kelahiran, atau status lainnya.
Bahkan, dalam UUD RI Tahun 1945 Pasal 28 B ayat (2), dirumuskan secara eksplisit hak setiap anak atas perlindungan dari diskriminasi, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Namun bandingkan dengan Pasal 2 UU Nomor 23 Tahun 2002 dan KHA yang memasukkan hak atas partisipasi (participation rights) sebagai hak anak sehingga lebih maju dari Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945.
Prinsip nondiskriminasi menjadi sentral dalam setiap konvensi HAM internasional, dan senantiasa dipertanyakan dalam evaluasi pelaksanaan dan kemajuan konvensi, termasuk pelaksanaan KHA.
Berdasarkan buku “Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child”, 1998, p.28, yang diterbitkan UNICEF, yang merujuk hasil evaluasi atas sejumlah 168 Initial Report Negara peserta KHA yang dilakukan Komite PBB tentang Hak Anak, teridentifikasi lingkup diskriminasi dan kelompok yang terkena dampak diskriminasi.
Berikut ini adalah temuan berbagai bentuk diskriminasi anak di pelbagai sudut dunia versi Komite PBB Hak Anak: Gender, termasuk usia perkawinan anak laki dan perempuan, hak waris anak laki dan perempuan; anak disabilitas; ras, xenophobia and rasism; suku asli (ethnic origin), bahasa; Anak yang tidak dicacatkan kelahirannya; anak lahir kembar; anak lahir dalam kondisi abnormal; anak yatim; tempat tinggal yang berbeda-beda (urban-rural, children in remote areas, displaced children, homeless children, children placed placed in alternative care, ethnic minority children placed in alternative care, institutionalized children, dll.).
Komite PBB itu juga menemukan diskriminasi ikhwal anak dalam sistem peradilan; anak yang dicabut kemerdekaannya; anak dalam konflik bersenjata; anak jalanan; anak korban kekerasan; anak korban HIV/AIDS; anak dari orangtua dengan HIV/AIDS; ibu muda tunggal (young single mothers); anak minoritas; non-national, termasuk anak imigran, imigran illegal, anak pekerja buruh migran, pengunsi (refugees/asylum-seekers).
Diskriminasi juga mencakup anak korban bencana alam; anak hidup dalam kemiskinan/kemiskinan ekstrim; distribusi kesejahteraan tidak setara (unequal distribution of national wealth); status sosial/ketidak beruntungan sosial (social disadvantages), kesenjangan sosial (social disparities); anak korban problematika ekonomi dan perubahan; status orangtua penyebab segregasi rasial di sekolah; kemiskinan orangtua; agama orangtua; anak lahir diluar perkawian (Non-marital children); anak dari orangtua tunggal (single-parent families); Anak dari perkawinan berbeda suku, agama atau kewarganegaraan.
Dengan begitu banyak jenis temuan evaluatif diskriminasi anak, maka kehadiran KHA dijadikan instrumen mendorong kewajiban negara membuat kerangka hukum nasional dan tindakan nyata yang mengatasi diskriminasi anak. Diskriminasi sebagai “pintu masuk” pertama pelanggaran hak anak, dan tepat jika menjadikan non diskriminasi sebagai prinsip pertama dalam KHA. Mari periksa, apakah jenis non diskriminasi seperti di atas masih ada di Indonesia? Usia perkawinan, disabilitas, sampai anak dari perkawinan berbeda suku, agama dan kewarganegaraan?
Masihkah dibedakan anak luar perkawinan dalam memperoleh jaminan sosial? Haruskah akte kelahiran diberikan hanya untuk perkawinan yang dicatatkan? Masihkah anak korban kekerasan seksual atau perkosaan diberhentikan dari sekolah? Sudahkan anak berkonflik hukum (ABH) mendapatkan hak pendidikan? Sudahkan seluruh anak korban penyalahgunaan narkoba memperoleh rehabilitasi?
Sudahkah anak dipedalaman dan pulau terluar memperoleh jaminan kesehatan nasional (JKN). Sudahkan janin dalam kandungan yang lahir dijamin menjadi peserta JKN, atau masih ibu yang melahirkan saja?
Walau masih banyak soal, jangan ragu menghapuskan diskriminasi itu sebagai kewajiban tak berbatas oleh negara. Kewajiban tanpa batas negara. Non Diskriminasi prinsip semua instrumen HAM utama. Karenanya, perlindungan anak dengan sekat adalah diskriminasi.
[Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Tim Ahli Bidang Hukum KPAI, www.mjoni.com]