Izin Kapolri Untuk Penggeledahan Anggota Tak Sesuai Hukum Acara Pidana

TRANSINDONESIA.CO – Arahan Kapolri bahwa penggeledahan dan penyitaan oleh kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun pengadilan harus seizin Kapolri berpotensi bertentangan dengan hukum acara pidana.

Hal ini menurut, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Miko Ginting dalam konteks tindak pidana korupsi juga berpeluang dijadikan alasan bagi tindakan menghalang-halangi penyidikan yang melibatkan anggota Polri. Menurut Miko, penggeledahan dan penyitaan merupakan upaya paksa yang diatur dalam KUHAP dan undang-undang lainnya yang mengatur hukum acara pidana di luar KUHP.

“Dimana untuk penggeledahan dan penyitaan sama sekali tidak memerlukan izin dari Kapolri,” kata Miko kepada wartawan, Senin 19 Desember 2016.

Gedung KPK>(Dok)
Gedung KPK>(Dok)

Bahkan dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, penyitaan oleh KPK dikecualikan dari ketentuan KUHP. KPK dapat melakukan penyitaan tanpa memerlukan izin dari Ketua Pengadilan Negeri dalam melaksanakan tugas penyidikannya. Hal itu sudah diatur sebagai tindak pidana dalam Pasal 21 undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Karenanya, Miko menilai arahan Kapolri tersebut justru kontraproduktif dengan pernyataan Kapolri yang ingin mengembalikan kepercayaan publik kepada Polri. “Seharusnya langkah yang dilakukan adalah mendorong pembenahan positif di tubuh Polri. Justru arahan ini berpotensi kontraproduktif dengan semangat itu,” kata Miko.

Sebelumnya, beredar surat yang ditembuskan ke Kapolri, Irwasum Polri, dan para Kapolda. Dalam surat tertera jika ada pemanggilan, tindakan hukum geledah, sita, dan masuk ruangan Mako Polri oleh penegak hukum, KPK, Kejaksaan, pengadilan, agar melalui izin Kapolri atau Kabid Propam Polda terkait. Mabes Polri juga membenarkan diterbitkannya surat arahan Kapolri yang berisi pemanggilan, penyitaan, dan penggeledahan kepada anggota Polri oleh KPK, Kejaksaan dan Pengadilan harus seizin Kapolri tersebut.

Inspekstur Pengawas Umum (Irwasum) Komjen Dwi Priyatno mengatakan dibuatnya surat arahan tersebut sebagai bentuk implementasi dari kerja sama antarlembaga penegak hukum sebagaimana yang telah dilakukan Polri, dengan kejaksaaan maupun KPK.

“Ini kerja sama dasarnya, Polri, Kejaksaan dengan KPK. Tindakan hukum, geledah, sita itu dikoordinasikan,” kata Dwi di Kawasan Monas Jakarta, 18 Desember 2016.

Hal ini menurut Dwi, sebagai upaya mempermudah dan memperlancar penegakan hukum di antara lembaga tersebut. Bukan justru sebaliknya, yakni menghalangi proses penegakan hukum.

“Biar sesama penegak hukum saling menghargai. Bukan berarti kolutif itu, hanya untuk memudahkan dan memperlancar,” ujar Dwi.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Kombes Rikwanto mengungkap, surat tersebut hanya sebagai penegasan semata. Selama ini, setiap pemeriksaan maupun penggeledahan anggota Polri harus terlebih dahulu mendapat izin pimpinan Polri.

“Itu hanya penegasan saja, ini sudah lama. Panggilan dari mana pun, kejaksaan, KPK. Itu pimpinan wajib taju dan didampingi,” katanya.

Tujuannya kata Rikwanto, agar dilakukan pendampingan terhadap anggota Polri tersebut. “Pendampingan nanti yang dampingi propam atau hukum. Yang bermasalah dengan hukum laporkan ke pimpinannya, nanti didampingi,” kata Rikwanto.[ROL/ISH]

Share
Leave a comment