Terbentuk PPPSRS, Status Badan Hukum?

TRANSINDONESIA.CO – Anda menghadiri pemeran properti dan membeli satuan rumah susun (sarusun) atau unit properti? Ketahuilah dahulu soal ini. Kewajiban anda tak hanya membayar harga sarusun atau unit apartemen, namun nantinya pemilik wajib membentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) (Paal 74 ayat 1 UU Rusun).

Pun-demikian, pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS (Pasal 75 ayat 1 UU Rusun). Dari aturan UU Rusun itu, kata kuncinya “membentuk/terbentuknya PPPSRS”.

Mengapa wajib dibentuk PPPSRS?  Pada tulisan sebelumnya diungkapkan bahwa PPPSRS dibentuk untuk rumah susun (rusun) umum milik dan rusun komersial. Bukan rumah rusun umum.

Alasannya lugas. Untuk melindungi dan menjamin hak perdata  pemilik/konsumen  atas produk  rusun  komersial, termasuk  terbentuk dan  disahkannya badan hukum PPPSRS.  Agar   PPPSRS dapat berfungsi sebagai subyek hukum dan badan hukum privat (rechts persoon), dan  mempunyai kapasitas hukum untuk bertindak mewakili  PPPSRS  ke dalam dan ke luar.

Cukupkah hanya dengan membentuk/terbentuknya PPPSRS? Apakah tidak dimaksudkan  perlu pengesahan status badan hukum?  Sejak bilakah  PPPSRS menjadi badan hukum?

PPPSRS
PPPSRS

Jika merujuk  Pasal 75 ayat (1) UU Rusun, sama sekali tidak menyebutkan kewajiban pelaku pembangunan memfasilitasi sampai disahkannya badan hukum PPPSRS.  Cermatilah pula Pasal 59 ayat (1) UU Rusun hanya menggunakan frasa  “terbentuknya PPPSRS” tanpa menyebutkan disahkannya badan hukum PPPSRS. Sebab, terbentuknya PPPSRS belum tentu sudah disahkan sebagai badan hukum.  Idemditto Pasal 74 ayat (1) UU Rusun hanya menyebut wajib membentuk PPPSRS saja. Bagaimana pengesahan status badan hukum PPPSRS?

Hemat saya,  untuk kepastian hukum dan perlindungan konsumen maka kewajiban pelaku pembangunan memfasilitasi terbentuknya PPPSRS versi Pasal 75 ayat (1) UU Rusun, mesti dimaknai termasuk pula  pengesahan badan hukum, sehingga Pasal 75 ayat (1) UU Rusun frasanya menjadi  “terbentuk dan disahkannya badan hukum PPPSRS”.

Untuk apa mempersoalkan itu?  Penting untuk kepastian hukum dan legalitas badan hukum PPPSRS yang absah mewakili seluruh pemilik dan penghuni atas kepemilikan bersama. Lagi pula, ada pakar yang dalam sidang Mahkamah Konstitusi  (MK) berpendapat status badan hukum PPPSRS langsung ada dan melekat pada saat terbentuknya PPPSRS  dengan  akte pendirian PPPSRS.

Lha? UU Rusun hanya norma konstitutif yang bersifat umum, tidak langsung mengikat dalam mengesahkan perbuatan pembentukan PPPSRS tertentu.  Norma UU  tidak berwenang  mengesahkan  badan hukum PPPSRS  in concreto  yang notabene pengesahan badan hukum  adalah perbuatan administrasi negara dari pejabat tata usaha negara.

Persis seperti pendirian atau terbentuknya  perseroan terbatas (PT), ataupun yayasan atau perkumpulan (vereniging),   tidak langsung memiliki  status  badan hukum namun perlu pengesahan status badan hukum kepada pejabat tata usaha negara yang diajukan setelah akte pendirian PT atau  yayasan atau  perkumpulan.

Dalam kasus konkrit, misalnya apartemen “XY” di Jakarta yang de facto  ada terbentuk 2 (dua) PPPSRS yang masing-masing mempunyai akte pendirian PPPSRS.  Apakah keduanya sah sebagai badan hukum? Tentu tidak, karena jika sah sebagai badan hukum saat terbentuknya, maka menimbulkan ketidakpastian  hukum atas kepemilikan bersama (common property). Bukankah kausal dan logika hukum PPPSRS  adalah karena adanya kepemilikan bersama. Ajaib sekali jika ada kepemilikan bersama  namun  pemegang haknya berada pada dua badan hukum PPPSRS.

Sekali lagi, jika hanya sebatas terbentuknya PPPSRS namun tidak disertai disahkannya badan hukum PPPSRS,  maka norma UU Rusun sedemikian  merugikan hak konstitusional pemilik  atas  kepastian hukum dan  perlindungan harta benda,   perlindungan  untuk mempunyai hak milik pribadi yang dijamin UUD 1945.

Tanpa adanya badan hukum PPPSRS maka tak memiliki legalitas sebagai entitas hukum yang berwenang  dalam pengelolaan tanah bersama, benda bersama dan bagian bersama sebagai  kepemilikan bersama.  Jika demikian,  menimbulkan resiko hukum antara lain:

Pertama,  konsumen atau pembeli/pemilik tidak bisa menikmati secara aman dan utuh  atas harta benda produk sarusun sebagai hak milik pribadi  dan kepemilikan bersama karena  PPPSRS yang merupakan kristalisasi pemilik dan penghuni tidak memiliki legalitas sebagai badan hukum.   Sebab, jika bukan badan hukum maka PPPSRS  belum legal  melakukan perbuatan hukum dan  entitas hukum.   Ketentuan itu adalah “jebakan betmen” yang merupakan kekosongan hukum yang merugikan konsumen.

Kedua,  dengan  belum disahkannya  status badan hukum maka  PPPSRS tidak memiliki kapasitas hukum yang sah untuk  bertindak  menerima penyerahan pengelolaan benda bersama, bagian bersama dan tanah bersama  dari pelaku pembangunan  (vide Pasal 75 ayat 2 U Rusun).

Ketiga,  pengesahan  badan hukum PPPSRS mutlak diperlukan karena  hanya PPPSRS yang diakui dalam UU Rusun    berkewajiban mengurus kepentingan seluruh  pemilik dan penghuni berkaitan pengelolaan kepemilikan benda bersama, bagian bersama dan tanah bersama (vide Pasal 75 ayat 3 UU Rusun).

Ringkasnya, PPPSRS diberi kedudukan  badan hukum berdasarkan UU Rusun maknanya  setelah  pengesahan badan hukum melalui  proses hukum administrasi  mengurus   sebagai perbuatan pejabat tata  usaha negara. Karena itu,  makna frasa “terbentuk PPPSRS”  dalam setarikan nafas mesti  dimaknai sebagai “terbentuk dan disahkannya badan hukum PPPSRS”. Seperti tamsil dua sisi koin mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

[Muhammad Joni – Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Dewan Pembina Lembaga Perlindungan Konsumen Keuangan dan Properti (LPKPK)]

Share
Leave a comment