Menimbang Hunian Berimbang [7]: Jangan Kriminalisasi!

TRANSINDONESIA.CO – Sudah “takdir“ Pemerintah menjalankan peran memenuhi kenbutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Itu amanat konstitusi dan pasal 54 ayat (1) UU PKP.  Apalagi saat ini masih  tingginya defisit pasokan rumah (backlog) dan mahalnya harga tanah.

Untuk mengatasi itu, konsep Hunian Berimbang  untuk  meragamkan tipe/kelas  persediaan rumah. Hunian Berimbang  jurus bijak dan cerdas membumikan asas Kebersamaan dan Keragaman (Pasal 2 huruf h UU PKP) yang menjadi modal sosial untuk harmoni pembangunan perumahan.

Tak cuma itu, Hunian Berimbang efektif mengatasi backlog dan menambah pasokan  sedian rumah umum dan rumah susun umum bagi MBR.  Patut jika Pemerintah memebuat regulasi Hunian Berimbang yang logis,  luwes  dan dapat mengatrol capaian  Program Sejuta Rumah (PSR).

Kali ini TRANSINDONESIA.CO menurunkan seri opini Muhammad Joni,    Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI).

Tertumpang harap, sumbang pikir ini berguna menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan melanjutkan PSR tahun kedua.

Ilustrasi
Ilustrasi

Jangan Kriminalisasi!

Ikhwal hunian berimbang soal yang menarik, karena pernah menjadi isu pelaporan hukum atas persoalan hunian berimbang. Ini fakta yang sebenarnya, bukan berita  hoax.  Penulis sendiri pernah mendampingi klien sampai ke penyidik Polda Metro Jaya.

Sekali lagi, pelaporan pelaku pembangunan alias developer terkait hunian berimbang,  bukan hoax  (rumor, legenda perkotaan, pseudosciences),  tetapi  berita akurat  yang sempat membetot perhatian.

Diwartakan,  terkait pelaksanaan hunian berimbang 191 pengembang sekawasan Jabotabek dilaporkan kepada Kapolri dan Kejaksaan Agung  seperti diturunkan  Bisnis Indonesia, 18 Juni 2014.

Lantas apa logikanya melakukan laporan?  Katakanlah seandainya ada perbuatan melanggar hunian berimbang versi Pasal 34 ayat (1), (2) dan Pasal 36 ayat (1), (2) UU No. 1  Tahun 2011 (“UU PKP”).  Justru  Pasal 150 UU PKP  sama sekali tidak ada menyebutkan sanksi pidana.

Jika cermat menelaah UU PKP, tidak ada rumusan Norma Larangan  untuk  hunian berimbang. Artinya?  Andaipun terjadi pelanggaran hunian berimbang versi Pasal 34 ayat (1), (2) dan Pasal 36 ayat (1), (2) UU PKP , perbuatan itu bukan perbuatan pidana. Sekali lagi, bukan perbuatan pidana.

Tidak ada kriminalisasi atas pelanggaran hunian berimbang dalam UU PKP. Periksalah lebih cermat UU PKP,  seketika akan dengan mudah ditemukan bahwa perbuatan melanggar  hunian berimbang  bukan Norma Larangan. Sebab, hanya norma Larangan yang bisa dipidana. Oleh  karenanya tidak  masuk dalam  Sanksi Pidana. Yang ada  cuman Sanksi Administratif  jika melanggar  Pasal 34 ayat (1), (2), dan Pasal 36 ayat (1), (2) UU PKP.  Itupun dengan prosedur yang bertingkat dari daerah, bukan langsung di pusat.

Andai kata  pelaporan itu mengacu kepada Permenpera No. 7 Tahun 2013 Pasal 15B ayat (1), yakni pidana denda dan dapat dijatuhi pidana tambahan? Justru semakin kacau dan merusak sistem hukum.  Haqqul yaqin, Permenpera No.7 Tahun 2013 itu cacat hukum.

Mengapa? Sebab,  Peraturan Menteri dilarang mengandung Sanksi Pidana.   Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berbunyi  “Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam (a) Undang-undang (b) Peraturan Daerah Provinsi; (c) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.

Karenanya, ketentuan sanksi dalam Permenpera Nomor 7 Tahun 2013 melanggar UU No. 12 Tahun 2011.  Secara tiori hukum, sanksi pidana hanya dilegalisasi dengan UU.  Sangat ganjil jika aturan turunan justru  melebihi norma hukum UU.

Pembuatan  Permenpera No.7 Tahun 2013 yang mengandung ketentuan Sanksi Pidana, mesti dibatalkan agar tidak menabung kekacauan hukum. Walau mungkin berdalih akrobatik bahwa aturan itu memiliki keberlakuan (efficacy), namun sesungguhnya  tidak memiliki pembenaran alias validity.  Validity adalah esensi hukum.

Dengan demikian, pelaporan hunian berimbang atau kriminalisasi hunian berimbang   sama sekali tidak beralasan. Terbukti,  tidak ada tindak lanjutnya sampai saat ini.

Agaknya, hal itu disadari Pemerintahan baru. Setakat Diskusi Seri 1 “Optimalisasi Hunian Berimbang untuk Program Sejuta Rumah” yang digelar HUD Institute, 7 April 2016, pejabat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengungkapkan   posisi Pemerintah tidak konfrontatif  ikhwal hunian berimbang.

Maksudnya? Tidak akan ada kriminalisasi, dan akan merevisi Permenpera No.7 Tahun 2013, termasuk pasal mengatur sanksi pidana denda. Langkah itu, menurut penulis, sudah tepat dan sesuai UU PKP. Patut diapresiasi.

Bagaimana pula soal sanksi administratif?  Untuk  melaksanakan Sanksi Administratif  hunian berimbang,  Pasal 150 ayat (3) UU PKP  memerintahkan  lebih dahulu  Peraturan Pemerintah (PP) mengenai jenis, tatacara, mekanisme sanksi administarif.

Faktanya,  sampai saat ini PP yang diamanatkan Pasal 150 ayat (3) UU PKP  belum dibuat.  Bagaimana bisa mungkin menjatuhkan sanksi administratif?

Kalau untuk menerapkan Sanksi Administarif saja belum dirumuskan regulasinya, lantas bagaimana logika menggunakan Sanksi Pidana?   Justru Pemerintah perlu bersinergi dengan stakeholder membangun sistem hukum perumahan yang efektif.

Yang Terhormat Bapak Presiden, ini saatnya menimbang ulang Hunian Berimbang untuk optimalisasi PSR. Demi visi Nawacita.

Oleh:  Muhammad Joni – Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)

Share
Leave a comment