Waspadai Penyamaran Norma “dapat”
TRANSINDONESIA.CO – Frasa hukum memang powerfull. Mengapa? Kata “dapat” bisa mengubah sikap dan melindungi dan menyamarkan kepentingan. Misalkan, satu kata “dapat” dalam Pasal 14 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), bisa menjadi alasan memperpanjang 20 tahun perjanjian kerjasama Blok Mahakam.
Awasi setiap kata, cermatlah mencerna Rancangan Undang-undang, karena “belantara” norma itu tak hanya berisi aturan namun mengandung kepentingan. Jika tidak cermat, di sana banyak jebakan dan penyamaran kepentingan. Bersembunyi di tubuh pasal, tersemat di dalam ayat.
Beberapa tahun lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010 yang menguji konstitusionalitas kata “dapat” dalam Penjelasan UU Kesehatan. MK juga memutuskan mengubah kata “dapat” dalam Pasal 54 ayat (4) UU Sistem Pendidikan Nasional menjadi “wajib”. Karena itu, Pemerintah wajib membantu sekolah-sekolah swasta, terlebih pada jenjang pendidikan dasar, agar bantuan untuk sekolah swasta tidak lagi dianaktirikan.
Tatkala menyiapkan pendapat hukum seputar desakan Moratorium Grasi untuk gembong narkoba, dengan membolak balik ratio legis UU Nomor 5 Tahun 2010 yang merupakan addendum UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, kata “dapat” masih muncul.
Idemditto dengan hal ihwal minyak dan gas (migas), kata “dapat” dalam Pasal 14 ayat (2) UU Migas menjadi ayat justifikasi melanjutkan perjanjian Blok Mahakam (BM) dengan Total E&P (Prancis) dan Inpex Corporation (Jepang) yang akan berakhir 2017. Walaupun publik meminta BM yang kaya itu dikelola sendiri. Menurut sumber, BM memiliki 11,7 persen cadangan terbukti gas nasional atau 12,7 triliun kaki kubik (TCF).
Kala penulis membedah UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP), tercatat 16 kali kata “dapat”. Belum termasuk kata “harus”, yang jauh berbeda makna dengan kata “wajib”.
Saya membangun postulat awal, masih banyak kata “dapat” yang menelusup sebagai norma ke dalam pasal dan ayat berbagai UU. Postulat berikutnya, kata “dapat” itu bukan kebimbangan norma, namun tak mustahil bentuk pertarungan kepentingan ataupun aspirasi titipan. Sehingga parlemen sebagai pembuat UU dan sekaligus institusi politik yang bermazhab politik kompromi, mengambil sikap kompromis merumuskannya ke dalam norma “dapat”.
Ternyata kata “dapat” itu menelusup ke dalam UU bukan hal ihwal sederhana, implikasi yuridisnya meruyak ke sana ke mari, dan bukan mustahil melenceng jauh dari maksud asli dilahirkannya sebuah substansi hukum dan norma hukum. Bisa jadi keadaan ini, hanya berbeda tipis dengan tidak memiliki regulasi.
Apabila merujuk dan takluk kepada aliran hukum alam, Prof. Mahadi (almarhum), Guru Besar Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara yang berpendapat, norma hukum yang tidak sesuai dengan asas tidak boleh disebut norma hukum.
Jika norma hukum yang dibuatkan sesuai dengan asas, maka laksana seorang bayi dalam kandungan, norma hukum itu telah masak untuk dilahirkan, telah matang untuk dilepaskan ke dalam masyarakat.
Bagi makhluk yang tak punya hati, celah itu adalah ‘recht vacuum’ yang dalam banyak kasus bisa dipakai secara tidak bertanggungjawab menjadi alasan taknak mematuhi hukum.
Kua-teoritis, inilah kondisi hukum tidak berjalan efektif atau ‘uneffective of the law’ versi Antony Allot, atau mungkin juga sudah tergelincir pada keadaan yang dikenali sebagai rekayasa gelap atau ‘dark-enginerring of the law’ versi Podgorecki & Olati, atau sinyalemen hukum tidak lagi otentik karena berubah menjadi ‘hukum dalam penyamaran kepentingan’ dari kaum critical legal studies (CLS).
Kembali ke hal ihwal norma “dapat”. Entah mengapa satu kata “dapat” itu, bisa leluasa melenggang menelusup ke dalam berbagai pasal. Rampung terkandung dalam ayat sehingga menjadi norma. Bahkan norma UU, yang derajat formalnya turunan langsung UUD 1945 sebagaimana hierarki perundang-undangan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011.
Dalam bukunya Allgemenemeine Rechtslehre, Hans Nawiasky menyebut itu norma UU formal atau formell gesert, yang bukan norma biasa karena berada dibawah aturan dasar negara (staatsgrundgesert). Bukan norma statuta perseroan, atau organisasi kemasyarakatan yang bersifat privat.
Syukurlah, penyamaran kepentingan itu, ‘dark-enginerring’ itu dalam banyak hal bisa terendus dan diakhiri. Merelokasinya dari norma mulia, dengan cara mengamputasinya dari UU Negara.
Berkat penerapan analogi, komparasi, dan audit hukum yang tak hanya mengandalkan teori hukum, ilmu logika, namun didukung kemerdekaan pikiran dan kejujuran hati dalam membedah selundup kata “dapat” dalam pasal dan ayat UU. Misi ini mensyaratkan bekerja dan afiatnya intuisi dalam menelaah setiap kata dan setiap jengkal hamparan bunyi UU.
Disinilah aplikasi perkakas logika dan rasional inderawi yang berfungsi jeli dan dengan aktifasi intuisi tingkat tinggi yang kompak berkolaborasi hingga mampu mengendus inkonsistensi norma, ‘penyamaran kepentingan’, ataupun “dark-enginerring’ yang diselundupkan ke dalam pasal dan ayat UU.
Setiap norma yang sudah menjadi UU, hanya dua cara mencabutnya: mengubah dan mencabut dengan addendum ke dalam UU baru, atau membatalkan melalui putusan MK. Dalam kiprahnya, banyak putusan MK yang membatalkan norma UU, bahkan membuat “norma” baru yang meluruskan dan sinkronisasi norma UU yang dipersoalkan ke MK.
Walaupun akses masyarakat belum optimal dalam mengawasi pembuatan UU, namun tetap bisa menguji norma UU. Tak harus dalam satu atau beberapa pasal, sekedar satu kata saja pun dari UU bisa menjadi objek pengujian di MK. Mempersoalkan yuridis-konstitusional norma.
Perlu kejelian dan kesabaran menguji rasio-legis yang diselundupkan dengan lima huruf yang menyamar dengan kata “dapat”. Menguji norma yang menyamarkan diri itu absah, bukan “makar” terhadap keberlakuan UU. Tetapi membuat norma UU itu makin sehat dan tangguh.
Beruntunglah warga masyarakat bisa membaca dengan UU dengan perkakas intuisi dan hati. Lebih beruntung lagi bisa melihat ke dalam sanubari (seperti puisi Rumi): “Lihatlah dalam lubuk hatimu pengetahuan para Nabi: tanpa buku, tanpa perantara, tanpa guru”. Keberuntungan yang pasti. Dijamin!
Oleh: Muhammad Joni – Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)