7 Keganjilan, IKA USU-DPD Bedah “Isi Perut” UU Tapera
TRANSINDONESIA.CO – Walau ditolak berbagai kalangan, Pemerintah dan Panitia Khusus (Pansus) DPR kukuh mengesahkan UU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Sebelumnya gencar penolakan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) atas RUU Tapera yang mewajibkan 3% penghasilan pekerja dan pemberi kerja.
Diluar KADIN dan APINDO, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) Muhammad Joni mengeritik organ Dana Tapera yang abaikan pekerja dan pemberi kerja. “Tidak adil dan aneh jika unsur masyarakat tidak masuk dalam Komite Tapera, padahal yang dikerahkan itu semuanya dana masyarakat, baik pekerja maupun pemberi kerja,” demikian Ketua MKI, Jumat (19/2/2016).
Sementara itu, Ketua Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (IKA USU) Jakarta dan Sekitarnya Chazali Situmorang menggusarkan hal serupa.
“Mengapa Dana Tapera yang berasal dari pekerja dan pemberi kerja sebagai “pemilik asal” tidak masuk BP Tapera dan Komite Tapera?” tanya mantan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasiona (DJSN) itu.
Membedah keganjian pengaturan Dana Tapera, IKA USU mengantongi 7 (tujuh) alasan. Berikut ini ulasannya:
Pertama, kesejahteraan sosial atas papan dijamin dalam konstitusi, yang secara eksplisit menyebutkan hak bertempat tinggal yang diracik setarikan nafas dengan kesejahteraan lahir dan batin [vide Pasal 28H ayat (1) UUD 1945]. Tak bisa dipungkiri, semua orang membutuhkan tempat tinggal. Sudah takdir manusia menghuni rumah sehingga manusia adalah “makhluk bermukim”.
Kedua,kesejahteraan sosial atas papan merupakan kewajiban negara (state obligation) yang dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, Pasal 40 UU hak Asasi Manunsia (HAM), Pasal 54 ayat (1) UU Perumahan dan Kawan Permukiman (UU PKP) dan konsideran UU PKP yang mengakui hak masyarakat untuk bertempat tinggal dan menghuni rumah yang layak dan terjangkau.
Ketiga, kesejahteraan sosial atas rumah masih belum terpenuhi yang terbukti dengan banyak banyak warga tuna wisma, menempati kolong jempatan, menjadi warga RT 00/RW 00. Kawasan kumuh bergerak cepat yang mengancam pencapaian agenda kota tanpa permukiman kumuh tahun 2025.
Keempat, defisit rumah (backlog) sudah mencapai 15 juta unit rumah, walaupun resminya tetap menggunakan data 13,6 juta. Andai pasokan rumah hanya 200 ribu unit per tahun, butuh waktu 68 tahun mengatasi backlog.
Kelima, Program Sejuta Rumah yang digiatkan Pemerintah berupa subsidi pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan suku bunga menjadi 5%, bantuan uang muka (BUM) Rp.4 juta, dan bunga uang muka 1%, namun dikuatirkan tidak memadai karena membutuhkan dana yang tidak sedikit. Alokasi dana perumahan rakyat belum 1% dari total APBN. Pemerintah hanya mampu mengalokasikan sekitar 0,1 persen dari produk domestik brutonya untuk sektor perumahan. Jauh lebih kecil dari Filipina (0,31) dan Thailand (2,21%).
Keenam, pengerahan dana masyarakat menjadi Dana Tapera memiliki keganjilan struktur kelembagaan, sebab dalam BP Tapera maupun Komite Tapera tidak ada unsur pemilik dana (pekerja dan pemberi kerja). Lagi pula penumpukan fungsi dan tugas BP Tapera sebagai pengelola, regulator dan sekaligus pengawas.
Ketujuh, masuknya lembaga komersial Manajer Investasi dalam pemupukan Dana Tapera memicu dana murah menjadi dana mahal. Bandingkan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang tidak menggunakan Manajer Investasi dan tidak dinormakan dalam UU BPJS.
Bedah Isi Perut UU Tapera
Dengan tujuh alasan itu, IKA USU terpanggil membedah “isi perut” UU Tapera dalam Kelompok Diskusi Terfokus (focus group discussion/FGD) dengan tema “Kesejahteraan Sosial atas Rumah: Membedah UU Tabungan Perumahan Rakyat”, Rabu, 24 Februari 2016, di Ruang GBHN, Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta.
“FGD yang melibatkan banyak pakar dan pelaku usaha perumahan rakyat itu dirancang atas kerjasama IKA USU Jakarta dan Sekitarnya dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)”, jelas Asrul Masir Harahap, Sekretaris Umum IKA USU Jakarta dan Sekitarnya.
Diharapkan Irman Gusman, Ketua DPD RI menyampaikan sambutan dan pidato kunci memulia telaah kritis nara sumber Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M,Sc., yang juga mantan Deputi Menko Kesejahteran Rakyat Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat, Parlindungan Purba, SH., M.M., Ketua Komite 2 DPD RI, Zulfi Syarif Koto, Ketua Housing and Urban Development (HUD) Institute, dan Muhamamd Joni, Ketua MKI.
Pembicara lain yang diharapkan tampil Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Eddy Hussi, Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) dan perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
“FGD ini utuk menjamin regulasi dan penggunaan Dana Tapera yang tepat sasaran dan menjamin kepastian hukum kesejahteraan sosial bagi perumahan rakyat”, jelas Parlindungan Purba, Ketua Komite II DPD RI yang juga alumni Fakultas Hukum USU.[Mj1]